Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Tentang Pembuktian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Pembuktian. Tampilkan semua postingan

Keterangan Ahli

Keterangan Ahli diatur dalam pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg yang menentukan bahwa jika menurut pertimbangan Pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, pengadilan dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa.
Pendapat Ahli dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya supaya pendapat tersebut disampaikan seobjektif mungkin. Namun hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya.
Tetapi hakim juga tidak bisa mengabaikan pendapat ahli begitu saja, apalagi mengenai hal nonhukum yang tentu hanya diketahui oleh ahlinya dalam bidang tertentu. Misalnya saja, dalam bidang kedoktoran, obat-obatan, perdagangan, impormasi telekomonikasi dan lain-lain.
Sampai sekarang keterangan seorang ahli tidak dianggap sebagai alat bukti dalam perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan mengenai ya atau tidak terjadinya suatu keadaan, melainkan hanya pendapat seseorang mengenai sesuatu hal yang memerlukan keahlian. Akan tetapi dalam praktek, keterangan ahli seringkali betul-betul membuktikan sesuatu hal, misalnya tentang sebab seseorang meninggal dunia atau tentang persamaan contoh barang yang ditawarkan dengan barang yang telah dijual. Atas dasar inilah Wirjono Prodjodikoro menganggap keterangan ahli sebagai alat bukti.[i]


[i] Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 124.
_____________________________
Sumber :
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Alat Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata meliputi Alat Bukti Surat, Saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan Sumpah. Alat bukti yang terakhir inilah yang akan menjadi pembicaraan terkahir mengenai Alat-alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata. Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.

Pengertian Sumpah seperti apa yang tercantum dalam Pasal 1929 adalah suatu pernyataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Sumpah hanya dikenal bagi orang yang beragama Islam, sedangkan Orang yang Beragama lain terutama Yang BerAgama Kristen menurut para sarjana Hukum Indonesia tidak mengenal adanya Sumpah, tapi lebih lazim dikenal adanya Janji. Sehingga kesimpulannya sumpah yang dikenal sebagai alat bukti dipersamakan dengan pengertian Janji.

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal ada 2 macam sumpah, yaitu:
  1. Sumpah Penambah (Subsisoir) Yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapat alat bukti lain akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya sumpah yang dilakukan terhadap alat bukti surat yang tidak memenuhi syatarat sebagai alat bukti, sehingga sumpah disini berperan untuk melegalisasi alat bukti tersebut.
  2. Sumpah Pemutus (Decesoir) Yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti yang lain sama sekali.

Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan tetapi sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah tersebut dilakukan di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa perkara maupun di depan Hakim Anggotanya. Misalnya Sumpah Pocong.
Sumpah bukan hanya dapat dilakukan di depan Hakim akan tetapi juga juga dapat dilakukan di depan Advokat, dimana advokat disini mempunyai kuasa istimewa untuk dilegalisasinya sumpah yang dilakukan di depannya. Misalnya: AKTE NOTARIS.

Perbedaan Sumpah Penambah dengan Sumpah Pemutus
Sumpah penambah dapat dilakukan jika masih ada alat bukti yang lain akan tetapi alat bukti tersebut menurut Hukum Pembuktian masih sangat minim sedangkan pada sumpah pemutus adapun dilakukan sumpah tersebut karena tidak ada alat bukti yang lain/tidak ada alat bukti sama sekali.
Sumpah Penambah, inisiatif untuk melakukan sumpah datangnya dari hakim yang memeriksa perkara tersebut sedangkan pada sumpah pemutus inisiatif untuk melakukan sumpah datangnya dari pihak-pihak yang berpekara.
Pada Sumpah Penambah Hakim lah yang menentukan kepada siapa akan dibebani sumpah, apakah itu kepada penggugat ataupun tergugat sedangkan pada Sumpah Pemutus yang pertama-tama sumpah dibebankan kepada penggugat, jika penggugat menolak selanjutnya sumpah akan dibebankan kepada tergugat.
Pada Sumpah Penambah pada umumnya redaksi/kata-kata/kalimat biasanya ditentukan oleh hakim sedangkan pada Sumpah Pemutus redaksi/kata-kata/kalimat Sumpah yang diucapkan biasanya adalah kalimat yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat perkara( kalau tergugat dibebani sumpah maka kata-kata atau kalimat sumpah berasal dari penggugat sebaliknya apabila penggugat dibebani sumpah maka kalimat atau kata-kata sumpah berasal dari tergugat)
Menurut Hukum Pembuktian apabila penggugat telah melakukan sumpah yang oleh hakim dibebankan kepadanya maka gugatanya pasti dikabulkan, sebaliknya apabila ia menolak melakukan sumpah yang dibebankan kepadanya dan sumpah tersebut akhirnya dibebankan kepada tergugat dan dilaksanakan maka gugatan tersebut pasti ditolak.
_________________________________
Sumber :
http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/sumpah.html
 

Alat Bukti Pengakuan

1. Peranan Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain.
 

Alat Bukti Persangkaan

1. Pengertian Persangkaandalam Hukum Acara Perdata
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310RBG, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.

Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukanapabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantumdalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.

Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBG adalah sebagai berikut:

Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidakberdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan olehhakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebutpenting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]

Pasal 310 RBG:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalammemutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaiansatu dengan yang lain.[2]

Menurut Pitlo,persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebihkonkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]

Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidakterkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dandari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untukdipahami.

2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutanke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBG Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapanpasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnyadimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua,hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baikdi dalam HIR ataupun RBG hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanyamemuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIRataupun Pasal 310 RBG, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]

Berikut adalah kutipan isipada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:

Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undangialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
1.       perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
2.       hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan darikeadaan-keadaan tertentu;
3.       kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
4.       kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telahmemperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.
Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.

Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, didalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatukejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu dimuka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan gantirugi.

Pasal 1920
Putusan-putusan Hakim perihal kedudukanhukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.

Pasal 1921
Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut.
Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkanpersangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.

Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

3. Penggunaan PersangkaanSerta Posisinya dalam Hukum Acara Perdata
Sistem pembuktian yang dianutdalam Hukum Acara Perdata tidaklah bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, yakni harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formildan materil, dan di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).[8]
Sistem pembuktian inilah yangdianut dalam Pasal 183 KUHAP.[9] Kebenaran yang dicari dandiwujudkan, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimalpembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip inilah yangdisebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan harusbenar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaranitu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[10] Berdasarkan faktor inipula persangkaan dihapuskan di dalam Hukum Acara Pidana.
Tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Dengan kesimpulan, bahwa dengan demikian penggugat dan tergugat telah melepaskan hak perdatanya.[11]
Subekti mencontohkan salah satu kasus yang mempergunakan alat bukti persangkaan. Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadiperzinahan.[12]
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.[13] Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain,sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alatbukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Olehkarena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebihdahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBG dianggap kurang tepat.[14]
Ada yang mengatakanpersangkaan bukanlah alat bukti yang sebenarnya di dalam hukum pembuktian, namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUH Perdata, HIR dan RBG adalah tepat.Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.[15]
Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.[16]
Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut  sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidak mungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.[17]
Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.[18]
Misalnya A menggugat B atassebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidakmau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jualbeli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.[19]
Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.[20]

Sumber :


[1] Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, PerbandinganHIR dan RBG, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm.115.
[2] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara Perdata di Peradilan,(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 319.
[3] Ibid,hlm.141.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian,cet.17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum AcaraPerdata (Jakarta. Sinar Grafika: 2007) hlm 684.
[6] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata cet. 31 (Jakarta, PTIntermasa: 2003) hlm.176.
[7] Ibid,hlm.683-684.
[8] Ibid,hlm. 498.
[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No.8 tahun 1981.
[10] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm 498.
[11] Ibid,hlm. 498.
[12] Subekti, Hukum Pembuktian....,hlm.45.
[13] Lihat: Subekti, Hukum Pembuktian...., hlm.37.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm. 686.
[15] Lihat: Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005) hlm. 255.
[16] Sudikno Mertokusumo, HukumAcara Perdata Indonesia, cet ke-1, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.138-139.
[17] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara....., hlm. 143.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
 

Alat Bukti Saksi

1. Arti dan dasar alat bukti saksi
Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang hakim.
Saksi-saksi itu ada yang kebetulan melihat atau yang mengalami sendiri suatu peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim, ada keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, ia tidak mendengar atau melihat sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian tersebut atau hal-hal tersebut, ini disebut testimonium de auditu, dan ada yang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan, misalnya menyaksikan pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan dan lain sebagainya.

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia menyatakan bahwa :
“Sementara orang berpendapat dengan adanya Pasal 171 ayat (2), maka kesaksian dari orang lain (testimonium de auditu) tidak dibolehkan. Sebenarnya testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja harus diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga diluar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu. Tidak ada larangan untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan.” [i]
Keterangan yang diberikan saksi haruslah tentang peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami sendiri. Jadi yang dimaksud bukti dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi didepan sidang pengadilan tentang suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri.

Dalam Pasal 300 ayat (1) HIR mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang mmberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain.
Artinya yang dimaksut pasal tersebut bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain.  Kalau didasarkan atas keterangan itu saja, maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti, inilah yang disebut asas unus testis nullus testis yaitu satu saksi bukan saksi .

2. Syarat bukti keterangan saksi
Seperti halnya pada alat bukti pada umumnya, alat bukti saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil, antara kedua sifat ini bersifat komulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, apabila salah satu syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi.
Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum, tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap saksi yang diajukan tidak sah sebagai alat bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil terpenuhi, tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi itu tidak sah sebagai alat bukti.

Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsu, maka saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu.

Dalam memberikan nilai kesaksian pasal 172 HIR memberikan petunjuk sebagai berikut:
Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau kurang dipercayai.

syarat-syarat bukti formil dan materiil saksi adalah:

Syarat formil saksi:
  1. Berumur 15 tahun keatas;
  2. Sehat akalnya;
  3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu phak menurut keturunan yang lurus, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
  4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun bercerai (pasal 145 (1) HIR);
  5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2) HIR), kecuali undang-undang menentukan lain;
  6. Menghadap di persidangan;
  7. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)
  8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suuatu peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali dalam perzinaan;
  9. Dipanggil diruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR);
  10. memberi keterangan secara lisan.
Syarat materiil saksi:
  1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar, dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR);
  2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwa (pasal 171 (1) HIR);
  3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171 (2) HIR);
  4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR);
  5. Tidak bertentangan dengan akal sehat. 
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-Pasal 152, Pasal 168-Pasal 172 HIR/Pasal  165-179, Pasal 309 RBg/Pasal 1895, Pasal 1902-Pasal 1908 BW.
Menurut Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg, seseorang yang tanpa alasan yang sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :
  1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya menjadi saksi;
  2. Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan polri;
  3. Dimasukan dalam penyanderaan.



[i] . Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. op.cit., hal. 118.

Sumber:
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2171410-alat-bukti-saksi/#ixzz1QzgAvhsH
 

Alat Bukti Tulisan

Alat bukti tulisan dalam perkara perdata menempati urutan pertama, berbeda dengan perkara pidana yang menempatkan kesaksian pada urutan pertama, mengapa demikian? Hal ini karena seseorang yang melakukan tindak pidana selalu menyingkirkan atau melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja yang memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukannya, sehingga terbongkarnya tindak pidana dan pelaku-pelakunya kebanyakan dari orang-orang yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri kejadian yang merupakan tindakan pidana itu. Sebaliknya dalam lapangan perdata misalnya jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perhibahan, perwasiatan dan sebagainya, orang yang melakukan peristiwa tersebut umumnya dengan sengaja membuat bukti tulisan untuk keperluan pembuktian dikemudian hari jika diperlukan .

Alat bukti tulisan atau surat diatur dalam pasal 138, 165, dan 167 HIR/Pasal 164, 285, dan 305 RBg/Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867-1894 BW.

Alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.

Alat bukti tulisan terbagi atas 2 (dua) macam, yaitu akta dan tulisan bukan akta sebagai mana diuraikan dibawah ini.

1. Akta
Akta ialah suatu tulisan yang dimuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
Kemudian akta dibedakan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu Akta otentik  dan Akta dibawah tangan :

a. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan undang-undang.
Akta otentik ini dibedakan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.             Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk);dan
2.             Akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang sering disebut dengan akta partai (acte partij).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg/Pasal 1870 BW, para ahli menyimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat dalam arti bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercayai oleh hakim, yaitu harus dianggap sesuatu yang benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan sempurna dalam arti bahwa dengan akta otentik tersebut sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain.
Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian :
Pertama, mempunyai kekuatan pembuktian formil, yang membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut.
Kedua, mempunyai pembuktian materiil, yang membuktikan antara para pihak bahwa apa-apa yang mereka terangkan, kemudian ditulis dalam akta, sungguh-sungguh terjadi.
Ketiga, mempunyai kekuatan pembuktian lahir atau keluar, yang membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan, tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal yang tertulis dalam akta itu kedua belah pihak telah menghadap pejabat umum dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

b. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan  tanpa bantuan pejabat umum.
Menurut yang dimaksud Pasal 1b ordonansi 1867 Nomor 29/Pasal 288 RBg/Pasal 1875 BW bahwa kalau tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan sudah diakui, akta dibawah tangan tersebut merupakan bukti yang sempurna  seperti akta otentik, tidak lain hanyalah ditujukan pada kekuatan pembuktian pertama (formil) dan kedua (materiil). Sedangkan kekuatan pembuktian keluar terhadap pihak ketiga, sama sekali tidak ada pada akta dibawah tangan.

2. Tulisan Bukan Akta
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Para sarjana mengatakan bahwa kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang bukan akta adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut.[1]




[1] Ny. Retnowulan Sutantie, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, Cet. I, 1979, Hal. 62
Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Beban Pembuktian

Pedoman umum bagi hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yang menentukan :
Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu peristiwa untuk menegaskan haknya, atau untuk membantah hak orang lain, maka harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa itu.”
Penggugat yang menuntut hak wajib membuktikan adanya hak itu atau peristiwa yang menimbulkan hak tersebut. Sedangkan tergugat yang membantah adanya hak orang lain (penggugat) wajib membuktikan peristiwa yang menghapuskan atau membantah hak penggugat tersebut.
Jika tergugat atau penggugat yang dibebani pembuktian tidak dapat membuktikan maka ia harus dikalahkan.

Dalam hubungan ini hukum materiil sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:
  1. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 BW).
  2. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan pihak yang dituntut (pasal 1365 BW).
  3. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar semua angsuran (pasal 1394 BW).
  4. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) BW).
______________________________
Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Apa-Apa Yang Harus Dibuktikan Dan Hal-Hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan

Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara perdata bukanlah hukumnya, melainkan peristiwanya atau hubungan hukumnya. Hukum Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan titerapkan,  baik hukum yamg tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.
Dalam perkara perdata hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa yang disampaikan pihak-pihak berperkara, kemudian memisahkan mana peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus di buktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.
Misalnya:
Dalam perkara hutang-piutang tidaklah relevan bagi hukum tentang warna baju yang dipakai oleh penggugat dan tergugat pada waktu mengadakan perjanjian hutang-piutang tersebut. Yang relevan adalah apakah antara penggugat dan tergugat pada waktu dan tempat tertentu benar-benar mengadakan perjanjian hutang-piutang dan sah menurut hukum?

Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam perkara perdata adalah :
  • Segala sesuatu yang diajukan oleh salah satu pihak  dan diakui oleh pihak lawan. Misalnya dalam perkara utang-piutang dimana penggugat menyatakan tergugat belum membayar utangnya kepada penggugat, kemudian tergugat mengakui maka penggugat tidak perlu membuktikan adanya utang-piutang tersebut.
  • Segala sesuatu yang dilihat hakim sendiri didepan sidang pengadilan, misalnya hakim telah melihat sendiri didepan sidang pengadilan barang yang dibeli penggugat mengandung cacat yang tersembunyi, atau merek dagang yang dipakai tergugat menyerupai atau hampir sama dengan merek atau cap dagang yang dipakai penggugat yang lebih dahulu didaftarkan, atau bagian tubuh  yang cacat akibat ditabrak mobil tergugat.
  • Segala sesuatu yang dianggap  diketahui oleh umum (notoire feiten). Misalnya harga emas lebih mahal dari harga tembaga.
  • Segala sesuatu yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya sendiri. Misalnya dalam dunia perdagangan sudah lazim bahwa perantara mendapat komisi.
___________________________
Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Law File - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger