Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Acara Perdata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Acara Perdata. Tampilkan semua postingan

Rangkuman Catatan Singkat Hukum Acara Perdata

Sistem Hukum :
  1. Hukum Eropah kontinental (Romawi Jermania) - Penganut sistem hukum ini adalah Perancis, Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, Amerika Latin, dan termasuk Indonesia – Hukum bersumber dari Peraturan Perundang-Undangan untuk  tujuan kepastian hukum.
  2. Hukum Anglo Saxon/Anglo Amerika  (Comment Law Saxon) – Penganut sistem hukum ini adalah  Malaysia, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia – Hukum bersumber dari Yurisprudensi
  3. Hukum Adat – terdapat di Indonesia, Cina, India, Pakistan, dan lain-lain – Hukum yang tidak tertulis yang terpelihara tumbuh dan berkembang dari kesadaran masyarakat untuk ketertiban dan ketenraman masyarakat.
  4. Hukum Islam – Hukum ini dianut negara Arab saudi, Pakistan, beberapa negara Asia, Afrika, Eropa dimana Agama Islam berkembang – Hukum bersumber dari Al Quran, Hadist, Ijma, dan Qias.
Hukum Perdata terbagi 2 macam yaitu :
  1. Hukum Perdata Materiil / Hukum Perdata saja = Hukum yeng mengatur kepentingan perseorangan (private).
  2. Hukum Perdata Formil / Hukum Acara Perdata = Hukum yang mengatur cara penyelesaian perkara perdata / cara menegakan Hukum Perdata Materiil
Asas-asas Hukum Acara Perdata ada 6 :
  1. Hakim bersikap pasif – Inisiatif pihak-pihak berperkara bukan hakim, mengadili seluruh tuntutan dan bukan tidak menjatuhkan sesuatu yang tidak dituntut, yang dikejar kebenaran formil (berdasarkan bukti-bukti yang diajukan didepan persidangan tanpa harus disertai keyakinan hakim), Para pihak bebas untuk mengakhiri perkara mereka sendiri.
  2. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum
  3. Mendengar kedua belah pihak
  4. Tadak ada keharusan mewakilkan
  5. Putusan harus disertai alasan-alasan - Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan (MA tanggal 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
  6. Beracara perdata dikenakan biaya.
 Tingkat Pemeriksaan perkara di Pengadilan :

  1. Tingkat pertama - Pengadilan Negeri ~ HIR (untuk Jawa & Madura) dan RBg  (untuk luar Jawa & Madura).
  2. Tingkat banding – Pengadilan Tinggi ~ UU No.20/1947 (untuk pemeriksaan ulangan Jawa & Madura) dan RBg (untuk luar Jawa & Madura).
  3. Tingkat Kasasi – Mahkamah Agung ~ UU No.14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Perihal Gugatan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan :
  1. Memuat  kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan secara lengkap (MA tgl 15-3-1970 Nomor  547 K/Sip/1972).
  2. Tuntutan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).
  3. Mencantumkan pihak-pihak berperkara secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975).
  4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).
Surat Gugatan yang tidak sesuai dinyatakan tidak sempurna dan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).


Ada 2 macam bentuk campur tangan (intervensi) pihak ketiga dalam perkara perdata :
  1. Menyertai (voeging) – bersikap memihak kepada salah satu pihak berperkara.
  2. Menengahi (tussenkomst) – bersikap membela kepentingan sendiri.
Bentuk yang lain sama dengan intervensi adalah vrijwaring (penaangguhan atau pembebasan) – pihak ketiga yang ditarik oleh salah satu pihak berperkara untuk kepentingan pihak yang menarik.

Kumulasi Gugatan ada 2 macam :
  1. Kumulasi Subjektif ~ Penggabungan dari subjeknya – syarat tuntutan-tutntutan memiliki koneksitas
  2. Kumulasi Objektif ~ tidak diperkenankan Penggabungan pemeriksaan acara khusus dan acara biasa; tuntutan yang berbeda wewenang relatifnya; dan tuntutan mengenai bezit dan tuntutan mengenai eigendom.
Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) ~ gugatan untuk diri sendiri sekaligus mewakili kelompok yang memiliki fakta, dasar hukum dan tergugat yang sama – misalnya perkara pencemaran lingkungan – surat gugatanya diatur dalam Pasal 3 Peraturan MA Nomor 1/2002.

Wewenang mengadili:
  1. Wewenang Mutlak (kompetensi absolut) ~ pengadilan memiliki wewenang perkara jenis tertentu dan tingkatan tertentu mutlak tidak bisa dilakukan oleh pengadilan lain.
  2. Wewenang relatif (kompetensi relatif/nisbi) ~ wewenang mengadili Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukumnya.
Wewenang Nisbi Pengadilan Negeri dalam Pasal 118 HIR/142 RBg mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri dalam daerah hukum :
  1. tempat tinggal tergugat
  2. jika tergugat lebih dari dua orang, dpilih salah satu tempat tinggal tergugat.
  3. jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui diajukan pada tempat tinggal tergugat
  4. jika objek gugatan benda tetap (tidak bergerak) gugatan diajukan pada tempat benda tersebut terletak, atau jika terpisah daerah hukumnya dapat dipilih salah satu yang dikehendaki penggugat.
  5. jika sudah ditetapkan tempat berdasarka suatu akta
Sita jaminan ada 2 macam :
  1. Conservatoir beslaag  - sita jaminan barang milik tergugat
  2. Revindicatoir beslag ~ sita jaminan barang milik penggugat
Jawaban tergugat terdiri dari 2 macam :
  1. Eksepsi (tanggkisan) –tidak langsung mengenai pokok perkara – misalnya eksepsi prosesuil (berdasarkan hukum acara perdata) yaitu eksepsi tentang kompetensi relatif (yang menyatakan pengadilan negeri di daerah hukum lain yang berwewenang) diajukan saat permulaan sidang, dan eksepsi kopetensi absolut (yang menyatakan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain yang berwewenang) dapat diajukan setiap saat pemeriksaan. Semua eksepsi diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara kecuali eksepsi kopetensi relatif dan absolut yang diputuskan dengan putusan sela.
  2. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.
konvensi = gugatan penggugat awal
rekonvensi = gugatan balik tergugat
Replik = jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat
Duplik = jawaban tergugat terhadap replik

Pembuktian = penyajian alat-alat bukti yang sah
Pihak-pihak berperkara tidak perlu membuktikan peraturan hukumnya tetapi berkewajiban membuktikan preristiwa-peristiwa yang dikemukakan/hubungan hukumnya

Hal-hal yang tak perlu dibuktikan :
  1. sesuatu yang diakui pihak lawan
  2. yang dilihat sendiri oleh hakim
  3. yang diketahui oleh umum (notoire feiten)
  4. yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya.
 Beban pembuktian berdasarkan pedoman Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBg/Pasal 1865 BW yaitu :
yang megakui haknya atau mengatakan peristiwa untuk menegaskan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, dia harus membuktikan”
Alat-alat bukti dalam perkara perdata (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW:
  1. Tulisan
  2. Saksi-saksi
  3. Persangkaan
  4. Pengakuan
  5. Sumpah
Putusan Pengadilan = pernyataan untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.


Susunan dan isi putusan:
  1. Kepala Putusan ~ berbunyi :Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa” (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
  2. Identitas pihak-pihak yang berperkara ~ identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas
  3. Pertimbangan (alasan-alasan) ~ Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden) dan Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden),
  4. Amar Putusan (diktum) ~ jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.
Upaya Hukum Melawan Putusan Pengadilan :
  1. Perlawanan (Verzet) ~ objeknya putusan verstek – tenggang waktu pengajuan 14 hari.
  2. Banding ~ objeknya Putusan Pengadilan Negeri – Pengulangan pemeriksaan – pemeriksaan terakhir mengenai fakta dan kedudukan perkaranya oleh  judex facti.
  3. Kasasi ~ objeknya Putusan Pengadilan Tinggi >> permohonan kasasi di daftarkan dan membayar biaya perkara ke panitera pengadilan negeri pada tingkat pertama (tenggang waktu 14 hari) dan penyampaian mememori kasasi oleh pemohon (tenggang waktu 7 hari >> pemberitahuan tertulis kepada pihak lawan (tenggang waktu 7 hari) -) – isi memori kasasi adalah memuat alasan-alasan bahwa judex facti tidak berwewenang dalam putusannya atau melampaui batas wewenangnya, lalai tidak memenuhi syarat-syarat peraturan perundang-undangan, atau judex fakti salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
  4. Peninjauan Kembali ~ objek putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap – dasar pengajuan : apabila putusan didasarkan suatu kebohongan atau didasarkan bukti-bukti palsu; setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti baru; dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut; apabila sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; apabila pihak-pihak yang sama mengenai sesuatu  soal, dasar, pengadilan, atau tingkatan yang sama telah diberikan putusan yang bertentangan dengan satu sama lain; dan terdapat khehilafan hakim/seuatu kekeliruan yang nyata – tenggang waktu 180 hari (Pasal 67 UU Nomor 14/1985).
  5. Derdenverjet ~ Perlawanan pihak ketiga bukan pihak dalam perkara yang merasa dirugikan misalnya terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur dalam Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg, dan perlawanan terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) – diajukan kepengadilan negeri yang memeriksa perkara dengan membuat gugatan terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Putusan MA dalam pemeriksaan kasasi :
  1. Pemohon kasasi tidak dapat diterima jika permohonan telah lewat waktu; tidak menyampaikan memori kasasi/memori kasasi terlambat disampaikan; dan belum mengajukan upaya hukum lain (verzet dan banding)
  2. Permohonan kasasi ditolak jika alasan-alasan kasasi dalam memori kasasi semata mata karena penilaian terhadap pembuktian  (fakta-fakta) yang mana batas pemeriksaan mengenai pembuktian berakhir pada tingkat banding sedangkan hal tersebut bukan wewenang MA
  3. Permohonan Kasasi dikabulkan jika alasan-alasan permohonan kasasi dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA, dan MA membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi.
 

Soal Latihan Hukum Acara Perdata Mengenai Perihal Gugatan, Kompetensi Relatif Pengadilan, Dan Beban Pembuktian Dalam Sengketa Tanah Warisan


Jika A berdomisili di Kotabaru ingin menggugat B yang berdomisili di Tanah Bumbu dengan tuntutan meminta bagian tanah warisan yang berada di Kab. Tanah Laut dan di Kab. Kotabaru kepada B, pertanyaannya :
  1. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatannya?
  2. Kemana gugatan untuk memecahkan perkara boedel warisan tersebut harus diajukan?
  3. Jika nantinya gugatan diterima dan proses pemeriksaan berjalan si A akan dibebani pembuktian seperti apa?

Jawaban 1:
Syarat-syarat yang harus dipenuhi surat gugatan Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya memberikan fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun sebagai berikut :
  • Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor  547 K/Sip/1972)
  • Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
  • Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975 dll
  • Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971)
Jika Surat Gugatan yang tidak sesuai dinyatakan tidak sempurna dan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Jawaban 2:
Gugatan untuk memecahkan perkara boedel warisan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri Tanah Laut atau Pengadilan Negeri Kotabaru, karena objek yang disengketakan berada pada salah satu wilayah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Ini didasarkan pada kompetensi atau wewenang nisbi/relatif Pengadilan Negeri sebagai mana diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBg  sebagai berikut :
  • Gugatan perdata pada tingkat pertama yang termasuk wewenang Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui  tempat tinggalnya, tempat kediamannya yang sebenarnya.
  • Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  • Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  • Jika objeknya benda tetap (benda tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu berada, jika benda tetap itu berada dibeberapa daerah hukum Pengadilan Negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat.
  • Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut, penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.

Jawaban 3:
Si A ahli waris yang menuntut pembagian boedal warisan yang belum pernah diadakan pembagian , tidak mungkin dibebani untuk membuktikan bahwa boedel wrisan tersebut belum dibagi oleh semua ahli waris, dan yang tepat adalah sia bisa dibebani pembuktian bahwa si A benar benar ahli waris dan barang dituntut benar-benar benda peninggalan.

Hal didasarkan pada keputusan Mahkamah Agung tanggal 15 Maret 1972 Nomor 547 K/Sip/1971 menyatakan bahwa pembuktian yang diletakan pada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari pada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang pisitif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu membuktikan
 

Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadilan adalah realisasi dari apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi , yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan suka rela oleh pihak yang dihukum (dikalahkan), jika tidak dilaksanakan maka akan dilakukan secara paksa oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh  Ketua Pengadilan Negeri  (Pasal 60 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206 ayat (1) RBg)
Macam-macam pelaksanaan putusan :
  1. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 197 HIR/Pasal 208 RBg, yaitu dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.
  2. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, pelaksanaan putusan ini diatur pada Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg, yang menentukan bahwa apabila seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu dalam tenggang waktu yang ditentukan, pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri  agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan  oleh pihak yang kalah perkara itu dinilai dengan sejumlah uang.
  3. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk mengosongkan barang tetap. Pelaksanaan putusan ini sering disebut dengan istilah eksekusi riil. Eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR maupun RBg tetapi banyak dilakukan dalam praktek.
 Penyandraan
Penyandraan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi.
Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR/Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg.
Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil  maka Mahkamah Agung dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan  kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling). Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga  gijzeling, mengingat Pasal 33 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.
Namun dengan pertimbangan sebagai mana diungkapkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan :
“Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, si dibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun penerapannya harus hati-hati.”[i]
Sejalan dengan pikiran Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan  Peraturan Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya (minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)) dapat dikenakan paksa badan.



[i] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., op.cit., hal.186.
________________________________
Sumber: H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Upaya Hukum Melawan Putusan

Dalam Hukum Acara Perdata diatur 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu :
  1. Upaya hukum biasa yang terdiri dari perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
  2. Upaya hukum luar biasa yang terdiri dari peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan derden verzet..

A. Upaya Hukum Biasa

(1) Perlawanan (Verzet)
Perlawanan adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan  Pengadilan Negeri karena tergugat tidak hadir pada persidangan pertama (putusan verstek). Upaya hukum ini disediakan bagi tergugat yang pada umumnya dikalahkan dalam putusan verstek. Upaya hukum ini diatur dalam Pasal 125 ayat (3), Pasal 129 ayat (2), Pasal 126 HIR dan Pasal 149 ayat (3), Pasal 153 ayat (2), Pasal 150 RBg.

(2) Banding
Banding adalah upaya hukum biasa melawan putusan Pengadilan Negeri oleh pihak-pihak berperkara perdata yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Negeri. Upaya hukum ini diatur  dalam Pasal 188 s/d 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura), dan dalam Pasal 199 s/d 205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan madura). Tetapi dengan berlakunya Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura maka Pasal 188 s/d 194 HIR yang mengatur acara pemeriksaan banding  untuk daerah Jawa dan Madura tidak berlaku lagi.

(3) Kasasi
Kasasi adalah upaya hukum biasa melawan putusan Pengadilan Tinggi bagi pihak-pihak berperkara yang merasa tidak puas dan tidak dapat menerima terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara pada tingkat banding. Upaya hukum ini diatur  dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diantaranya Pasal 40 ayat (1) dan (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), (2), (3) dan (4), Pasal 47 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan (2), Pasal 51 ayat (1) dan (2), dan Pasal 52


B. Upaya Hukum Luar Biasa

(1) Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Lembaga Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu dalam Pasal 55 s/d 75.

(2) Derden verzet
Derden verzet adalah perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan oleh karena ia merasa dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Misalnya, barang yang disita dalam suatu perkara bukanlah milik tergugat, melainkan milik pihak ketiga.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial (executoir beslag) diatur dalam Pasal 208 jo. Pasal 207 HIR/Pasal 228 jo. Pasal 227 RBg. Sedangkan perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan (conservatoir beslag) tidak diatur dalam HIR ataupun RBg.
__________________
Sumber: H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Putusan Pengadilaan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (uit voerbaar bij voorraad)

Pada dasarnya putusan pengadilan hanya dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kecuali apa yang dinamakan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad), sebagai mana diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg, yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya putusan dijalankan lebih dahulu walaupun ada perlawanan (verzet) atau banding jika :
  • Ada surat otentik tau tulisan dibawah tangan yang menurut undang-undang mempunyai kekuatan bukti.
  • Ada Putusan pengadilan sebelumnya yang sudah mempunyai kekuatan tetap
  • Ada gugatan provisionil yang dikabulkan
  • Dalam sengketa-sengketa mengenai bezitrecht.
Jika salah satu sarat diatas dipenuhi, barulah dapat dijatuhkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad).
_______________
Sumber:
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Macam-Macam Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan dibedakan  atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis).

1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri  terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara.
Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan  banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir”
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir, interlocutoir, incidentieel, dan provisioneel.
  • Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan  segala sesuatu  guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
  • Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir
  • Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan  prosedur peradilan biasa. Putusan inipun belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dan tussenkomst)
  • Putusan provisioneel adalah putusan  yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya

2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.

Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
  • Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
  • Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
  • Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
 Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusan condemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
  • putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum .... dan seterusnya”
  • putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan ... dan seterusnya.”
  • putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan ... sah menurut hukum.”
Dari ketiga putusan akhir tersebut diatas, putusan yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan akhir lainya hanya mempunyai kekuatan mengikat.
_________________
Sumber:
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Pengertian, Susunan, Dan Isi Putusan Pengadilan

1. Pengertian Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.
Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (Pasal 25 ayat (2) UU No.4/2004)

2. Susunan  Dan Isi Putusan Pengadilan
Dilihat dari wujudnya, setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu :

Kepala Putusan, setiap putusan pengadilan harus  mempunyai kepala putusan  yang berbunyi :
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan oleh pembuat Undang-Undang  juga dimaksudkan agar hakim selalu menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 UU No.14/1970) .

Identitas pihak-pihak yang berperkara, dalam putusan pengadilan identitas pihak penggugat, tergugat dan turut tergugat harus dimuat secara jelas, yaitu nama, alamat, pekerjaan, dan sebagainya serta nama kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.

Pertimbangan (alasan-alasan), dalam putusan pengadilan terhadap perkara perdata terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu :
Pertimbangan tentang duduk perkaranya (feitelijke gronden), adalah bukan pertimbangan dalam arti sebenarnya, oleh karenanya pertimbangan tersebut hanya menyebutkan apa yang terjadi didepan pengadilan. Seringkali dalam prakteknya gugatan penggugat dan jawaban tergugat dikutif secara lengkap, padahal dalam Pasal 184 HIR/Pasal 195 RBg menentukan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas.
Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden), adalah pertimbangan atau alasan dalam arti yang sebenarnya, pertimbangan hukum inilah yang menentukan nilai dari suatu putusan pengadilan, yang penting diketahui oleh pihak-pihak yang berperkara dan hakim yang meninjau putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat banding dan tingkat kasasi.

Amar Putusan, dalam gugatan penggugat ada yang namanya petitum, yakni apa yang dituntut atau diminta supaya diputuskan oleh hakim. Jadi Amar putusan (diktum) itu adalah putusan pengadilan merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan penggugat.

Dalam Hukum Acara Perdata hakim wajib mengadili semua tuntutan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi, bila tidak dilakukan putusan tersebut harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968).
_____________
Sumber :
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Keterangan Ahli

Keterangan Ahli diatur dalam pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg yang menentukan bahwa jika menurut pertimbangan Pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau dimintakan keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, pengadilan dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang sedang diperiksa.
Pendapat Ahli dikuatkan dengan sumpah. Maksudnya supaya pendapat tersebut disampaikan seobjektif mungkin. Namun hakim tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya.
Tetapi hakim juga tidak bisa mengabaikan pendapat ahli begitu saja, apalagi mengenai hal nonhukum yang tentu hanya diketahui oleh ahlinya dalam bidang tertentu. Misalnya saja, dalam bidang kedoktoran, obat-obatan, perdagangan, impormasi telekomonikasi dan lain-lain.
Sampai sekarang keterangan seorang ahli tidak dianggap sebagai alat bukti dalam perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan mengenai ya atau tidak terjadinya suatu keadaan, melainkan hanya pendapat seseorang mengenai sesuatu hal yang memerlukan keahlian. Akan tetapi dalam praktek, keterangan ahli seringkali betul-betul membuktikan sesuatu hal, misalnya tentang sebab seseorang meninggal dunia atau tentang persamaan contoh barang yang ditawarkan dengan barang yang telah dijual. Atas dasar inilah Wirjono Prodjodikoro menganggap keterangan ahli sebagai alat bukti.[i]


[i] Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 124.
_____________________________
Sumber :
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009
 

Alat Bukti Sumpah

Sumpah sebagai alat bukti yang terakhir sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 1866 BW yang menyatakan bahwa alat-alat bukti dalam perkara perdata meliputi Alat Bukti Surat, Saksi, Persangkaan-persangkaan, Pengakuan dan Sumpah. Alat bukti yang terakhir inilah yang akan menjadi pembicaraan terkahir mengenai Alat-alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata. Sumpah sendiri dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1929 sampai dengan Pasal 1945 KUHPerdata.

Pengertian Sumpah seperti apa yang tercantum dalam Pasal 1929 adalah suatu pernyataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah. Sumpah hanya dikenal bagi orang yang beragama Islam, sedangkan Orang yang Beragama lain terutama Yang BerAgama Kristen menurut para sarjana Hukum Indonesia tidak mengenal adanya Sumpah, tapi lebih lazim dikenal adanya Janji. Sehingga kesimpulannya sumpah yang dikenal sebagai alat bukti dipersamakan dengan pengertian Janji.

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal ada 2 macam sumpah, yaitu:
  1. Sumpah Penambah (Subsisoir) Yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapat alat bukti lain akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya sumpah yang dilakukan terhadap alat bukti surat yang tidak memenuhi syatarat sebagai alat bukti, sehingga sumpah disini berperan untuk melegalisasi alat bukti tersebut.
  2. Sumpah Pemutus (Decesoir) Yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti yang lain sama sekali.

Perlu diketahui bahwa sumpah juga dapat dilakukan di luar pengadilan, akan tetapi sumpah tersebut mempunyai daya kekuatan sebagai alat bukti jika sumpah tersebut dilakukan di depan Hakim, baik itu di depan Hakim Ketua yang memeriksa perkara maupun di depan Hakim Anggotanya. Misalnya Sumpah Pocong.
Sumpah bukan hanya dapat dilakukan di depan Hakim akan tetapi juga juga dapat dilakukan di depan Advokat, dimana advokat disini mempunyai kuasa istimewa untuk dilegalisasinya sumpah yang dilakukan di depannya. Misalnya: AKTE NOTARIS.

Perbedaan Sumpah Penambah dengan Sumpah Pemutus
Sumpah penambah dapat dilakukan jika masih ada alat bukti yang lain akan tetapi alat bukti tersebut menurut Hukum Pembuktian masih sangat minim sedangkan pada sumpah pemutus adapun dilakukan sumpah tersebut karena tidak ada alat bukti yang lain/tidak ada alat bukti sama sekali.
Sumpah Penambah, inisiatif untuk melakukan sumpah datangnya dari hakim yang memeriksa perkara tersebut sedangkan pada sumpah pemutus inisiatif untuk melakukan sumpah datangnya dari pihak-pihak yang berpekara.
Pada Sumpah Penambah Hakim lah yang menentukan kepada siapa akan dibebani sumpah, apakah itu kepada penggugat ataupun tergugat sedangkan pada Sumpah Pemutus yang pertama-tama sumpah dibebankan kepada penggugat, jika penggugat menolak selanjutnya sumpah akan dibebankan kepada tergugat.
Pada Sumpah Penambah pada umumnya redaksi/kata-kata/kalimat biasanya ditentukan oleh hakim sedangkan pada Sumpah Pemutus redaksi/kata-kata/kalimat Sumpah yang diucapkan biasanya adalah kalimat yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat perkara( kalau tergugat dibebani sumpah maka kata-kata atau kalimat sumpah berasal dari penggugat sebaliknya apabila penggugat dibebani sumpah maka kalimat atau kata-kata sumpah berasal dari tergugat)
Menurut Hukum Pembuktian apabila penggugat telah melakukan sumpah yang oleh hakim dibebankan kepadanya maka gugatanya pasti dikabulkan, sebaliknya apabila ia menolak melakukan sumpah yang dibebankan kepadanya dan sumpah tersebut akhirnya dibebankan kepada tergugat dan dilaksanakan maka gugatan tersebut pasti ditolak.
_________________________________
Sumber :
http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/sumpah.html
 

Alat Bukti Pengakuan

1. Peranan Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain.
 

Alat Bukti Persangkaan

1. Pengertian Persangkaandalam Hukum Acara Perdata
Pengertian alat bukti persangkaan, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibandingkan dengan Pasal 173 HIR ataupun Pasal 310RBG, yang bunyinya di dalam Pasal 1915 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.

Bahwasanya pengertian alat bukti di dalam Pasal 1915 KUHPerdata tersebut lebih mudah dipahami dan lebih layak untuk dijadikan rujukanapabila dibandingkan dengan pengertian alat bukti persangkaan yang tercantumdalam Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG.

Adapun bunyi pengertian alat bukti persangkaan yang terdapat di dalam HIR dan RBG adalah sebagai berikut:

Pasal 173 HIR:
Persangkaan-persangkaan belaka, yang tidakberdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, hanya dapat diperhatikan olehhakim dalam pemutusan perkaranya, apabila persangkaan-persangkaan tersebutpenting, cermat, tertentu dan cocok satu sama lain.[1]

Pasal 310 RBG:
Persangkaan / dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan per-undang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalammemutus suatu perkara jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaiansatu dengan yang lain.[2]

Menurut Pitlo,persangkaan (vermoedem) bukanlah termasuk dalam ranah alat bukti, lebih tepatnya disebut sebagai uraian, dalam arti dari fakta-fakta yang diketahui ditarik kesimpulan ke arah yang lebihkonkrit kepastiannya (kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta yang diketahui dan ditemukan dalam proses persidangan ke arah yang mendekati kepastian).[3]

Sedangkan menurut Subekti persangkaan adalah : kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah”terkenal” atau yang dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang ”tidakterkenal”, dalam artian sebelum terbukti.[4] Atau dengan kata lain: Bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang konkret kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui. Jadi pada langkah pertama, ditemukan fakta atau bukti langsung dalam persidangan, dandari fakta atau bukti langsung itu, ditarik kesimpulan yang mendekati kepastian tentang terbuktinya fakta lain yang sebelumnya tidak diketahui.[5] Tentunya pengertian alat bukti persangkaan yang dikemukakan oleh Subekti tersebut lebih mudah untukdipahami.

2. Landasan Hukum
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutanke-3 (ketiga) dari ke-5 (kelima) alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, pada RBG Pasal 310 dan pada KUHPerdata yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapanpasal, yakni Pasal 1915-1922.
Hukum pembuktian ini sebenarnya termasuk dalam hukum acara, dan tidak pada tempatnya sebenarnyadimuat di dalam B.W, yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Namun hukum acara itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi dua,hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara materil, sehingga dapat di masukkan ke dalam KUH Perdata. Pendapat ini rupanya dianut oleh pembuat undang-undang ketika B.W dilahirkan.[6]
Pengaturan persangkaan baikdi dalam HIR ataupun RBG hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanyamemuat tentang pengertian persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya di dalam persidangan, sehingga dirasakan sangat kabur. Langkah yang tepat untuk dipedomani adalah yang terdapat di dalam KUHPerdata, yang terdiri dari Pasal 1915-1922. Melalui pembahasan yang seperti ini dengan sendirinya sudah meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 HIRataupun Pasal 310 RBG, karena apa yang diatur pada kedua pasal tersebut sudah tercakup di dalam Pasal 1915 KUH Perdata.[7]

Berikut adalah kutipan isipada Pasal 1915 sampai dengan Pasal 1922 dalam KUH Perdata:

Pasal 1915
Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh Hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada dua macam persangkaan,yaitu: persangkaan menurut undang-undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

Pasal 1916
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undangialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah diantaranya:
1.       perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat dan ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang;
2.       hal-hal yang dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang disimpulkan darikeadaan-keadaan tertentu;
3.       kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak;
4.       kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

Pasal 1917
Kekuatan suatu putusan Hakim yang telahmemperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya.
Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama; bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama; lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.

Pasal 1918
Suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan mana seseorang telah dijatuhkan hukuman karena suatu kejahatan maupun pelanggaran, didalam suatu perkara perdata dapat diterima sebagai suatu bukti tentang perbuatan yang telah dilakukan, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 1919
Jika seseorang telah dibebaskan dari suatukejahatan atau pelanggaran yang dituduhkan kepadanya, maka pembebasan itu dimuka Hakim perdata tidak dapat dimajukan untuk menangkis suatu tunntutan gantirugi.

Pasal 1920
Putusan-putusan Hakim perihal kedudukanhukum orang-orang, yang mana putusan-putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang menurut undang-undang berkuasa membantah tuntutannya, adalah berlaku terhadap tiap-tiap orang.

Pasal 1921
Suatu persangkaan menurut undang-undang membebaskan orang yang guna keuntuangannya ada persangkaan itu, dari segala pembuktian lebih lanjut.
Terhadap suatu persangkaan menurut undang-undang tak diperizinkan suatu pembuktian, jika berdasarkanpersangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu atau menolak penerimaan suatu gugatan; kecuali apabila undang-undang sendiri mengizinkan pembuktian perlawanan, dan demikian itu tidak mengurangi apa yang telah ditetapkan mengenai sumpah di muka Hakim dan pengakuan di muka Hakim.

Pasal 1922
Persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbbangan dan kewaspadaan Hakim, yang namun itu tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan lain, selain yang penting, teliti dan tertentu, dan sesuai satu sama lain. Persangkaan-persangkaan yang sedemikian hanyalah boleh dianggap dalam hal-hal dimana undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula apabila dimajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta, berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

3. Penggunaan PersangkaanSerta Posisinya dalam Hukum Acara Perdata
Sistem pembuktian yang dianutdalam Hukum Acara Perdata tidaklah bersifat stelsel negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk stelsel), seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran, yakni harus dibuktikan berdasarkan alat bukti yang mencapai batas minimal pembuktian, yakni sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dalam arti memenuhi syarat formildan materil, dan di atas pembuktian yang mencapai batas minimum tersebut harus didukung lagi oleh keyakinan hakim tentang kebenaran keterbuktian kesalahan terdakwa (beyond a reasonable doubt).[8]
Sistem pembuktian inilah yangdianut dalam Pasal 183 KUHAP.[9] Kebenaran yang dicari dandiwujudkan, selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai batas minimalpembuktian, kebenaran tersebut harus diyakini oleh hakim. Prinsip inilah yangdisebut beyond reasonable doubt. Kebenaran yang diwujudkan harusbenar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan, sehingga kebenaranitu dianggap bernilai sebagai kebenaran hakiki.[10] Berdasarkan faktor inipula persangkaan dihapuskan di dalam Hukum Acara Pidana.
Tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan cukup kebenaran formil (formeel waarheid). Dari diri dan sanubari hakim tidak dituntut keyakinan. Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima oleh hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan. Dengan kesimpulan, bahwa dengan demikian penggugat dan tergugat telah melepaskan hak perdatanya.[11]
Subekti mencontohkan salah satu kasus yang mempergunakan alat bukti persangkaan. Menurut Subekti apabila sulit mendapatkan saksi yang melihat sendiri ataupun mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan. Sebagai contoh kasus gugatan perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Di dalam praktek memang sulit sekali menemukan perzinahan yang tertangkap tangan. Bahkan jarang ada saksi yang melihat pada saat terjadi perzinahan. Namun jika ditemukan fakta seorang perempuan dan laki-laki yang bukan suami istri menginap dalam satu kamar, dan hanya ada satu tempat tidur, berdasar fakta-fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan persangkaan yang mendekati kepastian, yakni bahwa telah terjadiperzinahan.[12]
Persangkaan sempat menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli hukum dan praktisi, apakah merupakan alat bukti atau bukan. Ada yang berpendapat bahwa persangkaan lebih tepat disebut uraian, dalam arti dari fakta-fakta atau alat bukti yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan ke arah yang lebih konkret kepastiannya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui.[13] Paling tidak persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung atau fakta langsung, tetapi merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut.
Untuk mewujudkan eksistensi persangkaan harus melalui atau dengan perantaraan alat bukti atau fakta lain,sehingga dapat dikatakan persangkaan sebagai alat bukti, asesor kepada alatbukti langsung tertulis atau saksi. Tidak bisa tampil berdiri sendiri tanpa bertumpu pada alat bukti tulisan atau saksi. Dengan demikian secara teoritis, persangkaan menurut sifatnya, tidak tepat dimasukkan sebagai alat bukti. Olehkarena itu ada yang berpendapat bahwa persangkaan adalah merupakan alat bukti yang tidak sebenarnya, dikarenakan membutuhkan alat bukti yang lain terlebihdahulu di dalam penggunaannya. Sehingga pencantumannya di dalam Pasal 1886 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR serta Pasal 310 RBG dianggap kurang tepat.[14]
Ada yang mengatakanpersangkaan bukanlah alat bukti yang sebenarnya di dalam hukum pembuktian, namun ada pula yang berpendapat bahwa persangkaan adalah tetap merupakan sebuah alat bukti, dan pencantumannya di dalam KUH Perdata, HIR dan RBG adalah tepat.Tentunya pendapat yang terakhir ini didasarkan pada Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan dengan tegas bahwa bukti persangkaan adalah alat bukti. Dengan penegasan bahwa persangkaan itu adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian dari pada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.[15]
Menurut Sudikno Mertokusumo, apakah alat bukti itu termasuk alat bukti atau bukan terletak pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai peristiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan, tetapi ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang diajukan untuk dibuktikan. Surat yang tidak ditanda tangani, yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu perjanjian yang disengketakan, bukanlah merupakan persangkaan, demikian pula keterangan saksi yang samar-samar tentang apa yang dilihatnya dari jauh mengenai perbuatan melawan hukum. Sebaliknya keterangan dua orang saksi yang menerangkan bahwa seseorang berada di tempat X, sedangkan yang harus dibuktikan adalah bahwa orang tersebut tidak berada di tempat X, adalah merupakan persangkaan.[16]
Meskipun persangkaan tidak memiliki fisik langsung sebagai alat bukti, sehingga tidak tepat disebut  sebagai alat bukti yang hakiki, akan tetapi fungsi dan perannya sangat penting dan sentral dalam menerapkan hukum pembuktian. Tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara (intermediary), pelaksanaan pembuktian berada dalam keadaan ketidak mungkinan atau imposibilitas. Dengan demikian, alat bukti persangkaan memegang peranan dan fungsi sebagai perantara (intermediary) dalam setiap pembuktian. Fungsi dan peranannya adalah mengantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret mendekati kepastian.[17]
Sekiranya di dalam persidangan hakim menemukan fakta yang didukung oleh alat bukti yang telah mencapai batas minimal pembuktian, keterbuktian fakta atau peristiwa tersebut, tidak bisa langsung dikonkretisasi tanpa mempergunakan persangkaan sebagai sarana perantara untuk mengkonstruksi kesimpulan tentang kepastian keterbuktian fakta atau peristiwa yang dibuktikan alat bukti fisik yang bersifat langsung tersebut.[18]
Misalnya A menggugat B atassebidang tanah. Dalil gugat, tanah telah dibeli dan dibayar lunas, tetapi tidakmau menyerahkan. Untuk mendukung dalil gugat, A mengajukan alat bukti akta jualbeli PPAT, ditambah dengan beberapa orang saksi. Meskipun sudah begitu kuat fakta yang ditemukan di dalam persidangan, namun hal tersebut tidak bisa dikonkritkan tanpa mempergunakan persangkaan sebagai perantara untuk mengantarkan pembuktian yang kuat tadi mendekati kepastian.[19]
Caranya dengan mendeskripsikan terlebih dahulu fakta-fakta yang telah dibuktikan oleh akta PPAT dan keterangan para saksi. Dari diskripsi tersebut baru ditarik kesimpulan yang lebih konkrit tentang adanya dugaan atau persangkaan tentang kepastian jual beli dan keingkaran si B untuk menyerahkan.[20]

Sumber :


[1] Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, PerbandinganHIR dan RBG, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm.115.
[2] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara Perdata di Peradilan,(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 319.
[3] Ibid,hlm.141.
[4] Subekti, Hukum Pembuktian,cet.17 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008) hlm. 45.
[5] M. Yahya Harahap, Hukum AcaraPerdata (Jakarta. Sinar Grafika: 2007) hlm 684.
[6] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata cet. 31 (Jakarta, PTIntermasa: 2003) hlm.176.
[7] Ibid,hlm.683-684.
[8] Ibid,hlm. 498.
[9] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, No.8 tahun 1981.
[10] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm 498.
[11] Ibid,hlm. 498.
[12] Subekti, Hukum Pembuktian....,hlm.45.
[13] Lihat: Subekti, Hukum Pembuktian...., hlm.37.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata...., hlm. 686.
[15] Lihat: Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group, 2005) hlm. 255.
[16] Sudikno Mertokusumo, HukumAcara Perdata Indonesia, cet ke-1, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.138-139.
[17] DedhiSupriadhy dan Budi Ruhiatudin, Pokok-pokok Beracara....., hlm. 143.
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Law File - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger