
Khusus Untuk yang online sudah disesuaikan dengan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu juga disediakan link, sehingga memudahkan anda untuk membacanya menuju BAB yang diinginkan, dan untuk kembali keatas halaman menuju kedaftar isi anda tinggal klik kembali BAB tersebut. Selamat menggunakan semoga bermanfaat!
Free Download (PDF) :
- [Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana(71 kb)]
- [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidan(64 kb)]
--------------------------------------------------------------------------
[warna merah adalah pasal-pasal baru yang dirubah berdasarkan UU No.20/2001
Tentang Perubahan Atas UU No.31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi]
DAFTAR ISI
BAB I
KETENTUAN UMUM ---Pasal 1
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI ---Pasal 2-Pasal 20
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA
KORUPSI ---Pasal 21-Pasal 24
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN ---Pasal 25 Pasal
40
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT ---Pasal 41-Pasal 42
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
---Pasal 43
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN ---Pasal 43 A
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP ---Pasal 43 B-Pasal 45
------------------------------------------
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang Ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2. pegawai
Negeri adalah meliputi :
a. pegawai
negeri sebagaimana undang-undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c. orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
e. orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap
orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi .
BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1) Setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penjelasan
(2) Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan
Pasal 3
Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penjelasan
Pasal 4
Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3. Penjelasan
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima )
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b.
memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2)
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1). Penjelasan
Pasal 6
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau
b.
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2)
Bagi hakim yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah):
a.
pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b.
setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.
setiap orang yang pada waktu menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang; atau
d.
setiap orang yang bertugas mengawasi
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia
dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2)
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan
bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang
selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau
surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi
tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja:
a.
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat , atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai
karena jabatannya; atau
b.
membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat , atau daftar
tersebut; atau
c.
membantu orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat , atau daftar
tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c.
hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d.
seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili; Penjelasan
e.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum,
seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
g.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
i.
pegawai negeri atau penyelenggara negara
baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 A [3]
(1)
Ketentuan mengenai pidana penjara dan
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2)
Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut: Penjelasan
a.
yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b.
yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
(2)
Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12 C
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3)
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 13
Setiap
orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh
pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap
orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Penjelasan
Pasal 15
Setiap
orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Penjelasan
Pasal 16
Setiap
orang di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi
dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. Penjelasan
Pasal 17
Selain
dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3 Pasal 5
sampai dengan pasal 14 terdakwa dapat dijatuhi tambahan sebagaimana dimaksud
dalam.
Pasal 18.
(1) Selain
pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana
tambahan adalah :
a. perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak
yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun
harga dari barang yang menggantikan barang tersebut;
b. pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. penutupan
usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; Penjelasan
d. pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana;
(2) Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b , maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan karenanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
(1) Putusan
pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
(2) Dalam
hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang
pihak ke yang mempunyai itikad baik maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan
surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 2
(dun) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
(3) Pengajuan
surat keberatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau merighentikan
pelaksanaan putusan pengadilan. Penjelasan
(4) Dalam
kaadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut
umum dan pihak yang berkepentingan.
(5) Penetapan
hakim atas surat
keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke
Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
(1) Dalam
hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya. Penjelasan
(2) Tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oieh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
(3) Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi maka korporasi terus diwakili
oleh pengurus.
(4) Penqurus
yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh
orang lain
(5) Hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan
dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
(6) Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan ke pengurus di tempat tinggal pengurus atau
ditempat pengurus berkantor.
(7) Pidana
pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan
ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 21
Setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang
terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap
orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36
yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 23
Dalam
perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 220, pasal 231, Pasal 421, pasal 442, pasal 429 atau pasal 430 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) Tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00
(Tiga ratus juta rupiah)
Pasal 24
Saksi
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dipidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (Seratus lima
puluh juta rupiah)
BAB IV PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN
PEMERIKSAAN Di SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi
didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Penjelasan
Pasal 26
Penyelidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.
alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan Penjelasan
b.
dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna.
Pasal 27
Dalam
hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat
dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Penjelasan
Pasal 28
Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan beri keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
(1) Untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di siding pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. Penjelasan
(2) Permintaan
keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Gubernur Bank Indonesia
melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Gubernur
Bank Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen
permintaan diterima secara lengkap.
(4) Penyidik,
penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi . Penjelasan
(5) Dalam
hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti
yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari
itu juga mencabut pernblokiran.
Pasal 30
Penyidik
berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat
dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Penjelasan
Pasal 31
(1) Dalam
penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor. Penjelasan
(2) Sebelum
perneriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
(1) Dalam
hal ponyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsure tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan. Penjelasan
(2) Putusan
bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara. Penjelasan
Pasal 33
Dalam
hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya. Penjelasan
Pasal 34
Dalam
hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah, ada kerugian keuangan negara, maka
penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
(1) Setiap
orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek,
nenek, saudara kandung. Istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang
yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas
oleh terdakwa.
(3) Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai, saksi, tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban
memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap
mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus
menyimpan rahasia. Penjelasan
(1)
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Penjelasan
(2)
Dalam hal terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti. Penjelasan
Pasal 37 A
(1)
Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau
perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Pasal 38
(1) Dalam
hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di siding pengadilan
tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya. Penjelasan
(2) Dalam
hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang
dibacakan dalam sidang sebelumnya dlanggap sebagai diucapkan dalam sidang yang
sekarang.
(3) Putusan
yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada
papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan
kepada kuasanya. Penjelasan
(4) Terdakwa
atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(5) Dalam
hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita. Penjelasan
(6) Penetapan
perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya
banding.
(7) Setiap
orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah
menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3). Penjelasan
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
(1)
Setiap orang yang didakwa melakukan salah
satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya
yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2)
Dalam hal terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh
bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh
juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian
harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3)
Tuntutan perampasan harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat
membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4)
Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh
terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5)
Hakim wajib membuka persidangan yang
khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4).
(6)
Apabila terdakwa dibebaskan atau
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan
perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hokum
tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau
patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya. Penjelasan
Pasal 39
Jaksa
Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Penjelasan
Pasal 40
Dalam
hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan
Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat
diberlakukan.
Pasal 41
(1) Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Penjelasan
(2) Peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak
untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani
perkara tindak pidana korupsi;
c. hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak
untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : Penjelasan
1) melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai
saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam
upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
4) Hak
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama
dan norma sosial lainnya;
5) Ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pemerintah
memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu
upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Penjelasan
(2) Ketentuan
mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Dalam
waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan
unsur masyarakat.
(4) Ketentuan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas
dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dmaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
Pasal 43 A
(1)
Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan
ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)
Ketentuan minimum pidana penjara dalam
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan
Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(3)
Tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana
korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210,
Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita
Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Pada
saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor
19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang
Ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia .
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR
31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
1. U M U M
Pembangunan
Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan
usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta
tindak pidana korupsi pada khususnya.
Di
tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk
memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena
dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang
sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di
berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan kepentingan masyarakat.
Undang-undang
ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah
dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang
sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
Keuangan
negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(a)
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
(b)
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
Agar
dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang
diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan
materiil. Dengan perumusan tsb, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan
keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam
Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak
pidana formil. Hal ini sangat penting uantuk pembuktian. Dengan rumusan secara
formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
pengadilan dan tetap dipidana.
Perkembangan
baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi Sebagai subyek tindak
pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 1971.
Dalam
rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan
Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus,
pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan
pemberatan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara
bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan
berupa uang pengganti kerugian negara.
Undang-undang
ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang a.l. adalah orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasiyang mempergunakan modal atau fasilitas
dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan
istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang
tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk
keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal
baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit
pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa
Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus
perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa.
Untuk
memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta
keterangan tentang keadaankeuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan
mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia .
Di
samping itu, Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara ybs., dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya.
Undang-undang
ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan
serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tsb diberikan perlindungan
hukurn dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tsb,
Undang-undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka
waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur
Pemerintah dan unsur masyarakat.
Berdasarkan
pertimbangan tsb di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.
[9]Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat
berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya
mengenai penerapan Undangundang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal
44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan
adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia
terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan
cara yang khusus, antara lain penerapan system pembuktian terbalik yakni
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran,
dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah
yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh
dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu
tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data
interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan
dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan
sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga
berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau
tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga
atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi,
dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan
Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan
asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara melawan
hukum" dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tsb tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Namun apabila perbuatan tsb dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat.
Maka perbuatan tsb dapat dipidana. Dalam ketentuan
ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau
perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsurunsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Ayat (2) [10]
Yang dimaksud dengan "keadaan
tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
Pasal 3
Kata "dapat" dalam ketentuan ini
diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2.
Pasal 4
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud,
maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak
menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian Negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
Pasal 5 [11]
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara
negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian
"penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal
berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup
jelas
Pasal 7
Cukup
jelas
Pasal 8
Cukup
jelas
Pasal 9
Cukup
jelas
Pasal 10
Cukup
jelas
Pasal 11
Cukup
jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup
jelas
Huruf c
Cukup
jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat"
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Huruf e
Cukup
jelas
Huruf f
Cukup
jelas
Huruf g
Cukup
jelas
Huruf h
Cukup
jelas
Huruf I
Cukup
jelas
Pasal 12 A [12]
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima
di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Pasal 12 C
Cukup
jelas
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berlaku
dalam Undang-undang ini" adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil.
Pasal 15
Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena
ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya
dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya.
Pasal 16
Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau lintas batas
territorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil
tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif.
Yang dimaksud dengan "bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
huruf a dan
huruf b
Cukup
jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan "penutupan seluruh atau
sebagian perusahaan" adalah pencabutan izin usaha atau penghentian
kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.
huruf
d
Cukup jelas.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) dan Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim
setelah eksekusi, maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak
ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang tsb.
Ayat (4) dan Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengurus" adalah
organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi ybs. Sesuai dengan
anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan
ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Ayat (2) s/d Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 21 s/d Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang
oleh Undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan
prioritas perkara tsb diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap
proses peradilan.
Pasal 26
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk
wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping).
Pasal 26 A [13]
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan
secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact
Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik
atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data
penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks,
dan faksimili.
Huruf b
Cukup
jelas
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya", a.l tindak pidana korupsi di bidang perbankan
perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di
bidang moneter dan keuangan yang:
a.
bersifat lintas sektoral;
b.
dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau
c.
dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus
sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan
efektivitas penyidikan, penuntutan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2) dan
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "rekening simpanan"
adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro deposito, sertifikat deposito,
tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, termasuk penitipan
(custodian) dan penyimpanan barang atau surat
berharga (safe-deposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk
bunga deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh darisimpanan
tsb.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 30
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan
kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau
menyita surat
harus memperoleh izin teriebih dahuiu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelapor" dalam
ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai
terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik
yang ditunjuk.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "putusan bebas"
adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan "ahli waris" dalam
Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan "petugas agama"
dalam Pasal ini adalah hanya petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan
kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
Pasal 37 [14]
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang
atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan
perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan
menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem
pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup
jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk
menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara
dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "Putusan" yang
diumumkan atau diberitahukan adalah petikan surat putusan pengadilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk
menyelamatkan kekayaan negara.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk
melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari
dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang
memang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 38 A [15]
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan
pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga
keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai
tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan
prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau
dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti
terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini
adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal
dari tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara
memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli
warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan
memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada Undang-undang
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut.
Untuk melakukan gugatan tersebut negara
dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "mengkoordinasikan"
adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undangundang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)
Huruf a s/d
Huruf d
Cukup
jelas
Huruf e
Perlindungan hukum terhadap Pelapor dimaksudkan
untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) s/d Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam
tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik
berupa piagam maupun premi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43 s/d Pasal 45
Cukup jelas
Penjelasan Pasal
2 Ayat (1) yang dimaksud dengan "secara
melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tsb tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tsb dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tsb dapat dipidana.
Dalam ketentuan
ini, kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau
perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsurunsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Penjelasan Pasal
2 Ayat (2) yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan
ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Penjelasan Pasal
4 dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud,
maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak
menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tsb. Pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian Negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
Penjelasan Pasal
5 ayat (2) yang dimaksud dengan
"penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pengertian "penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk
pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 12 huruf d yang dimaksud dengan "advokat" adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan
yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Penjelasan Pasal
12B ayat (1) yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Penjelasan Pasal
14 yang dimaksud dengan "ketentuan
yang berlaku dalam Undang-undang ini" adalah baik hukum pidana materiil
maupun hukum pidana formil.
Penjelasan Pasal
15 ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan
dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
ancaman pidananya.
Penjelasan Pasal
16 ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
yang bersifat transnasional atau lintas batas territorial sehingga segala
bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar
negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan
"bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan" dalam ketentuan ini
adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penjelasan Pasal
18 ayat (1) huruf c yang dimaksud dengan
"penutupan seluruh atau sebagian perusahaan" adalah pencabutan izin usaha
atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan
pengadilan.
Penjelasan Pasal 19 ayat
(3) apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka
negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil
lelang atas barang tsb.
Penjelasan Pasal 20 ayat
(1) Yang dimaksud dengan "pengurus" adalah organ
korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi ybs. Sesuai dengan anggaran
dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Penjelasan Pasal
25 apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang
ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tsb
diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan.
Penjelasan Pasal
26A huruf a yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik"
misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM)
atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan "alat optik atau
yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung
elektronik (electronic data interchange), surat
elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Penjelasan Pasal
27 yang dimaksud dengan "tindak
pidana korupsi yang sulit pembuktiannya", a.l tindak pidana korupsi di
bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi
berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang:
a.
bersifat lintas sektoral;
b.
dilakukan dengan menggunakan teknologi
canggih atau
c.
dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang
berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Penjelasan Pasal
29 ayat (1) ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan,
penuntutan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan
koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait.
Penjelasan Pasal
29 ayat (4) yang dimaksud dengan "rekening
simpanan" adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro deposito, sertifikat
deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, termasuk
penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safe-deposit box).
Rekening
simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga deviden, bunga obligasi, atau
keuntungan lain yang diperoleh darisimpanan tsb.
Penjelasan Pasal
30 ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada penyidik dalam
rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh
izin teriebih dahuiu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Penjelasan Pasal
31 ayat (1) yang dimaksud dengan "pelapor" dalam ketentuan ini adalah
orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu
tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Penjelasan Pasal
32 ayat (1) yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara" adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk.
Penjelasan Pasal
32 ayat (2) Yang dimaksud dengan "putusan bebas" adalah putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Penjelasan Pasal
33 yang dimaksud dengan "ahli waris" dalam Pasal ini adalah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal
36 yang dimaksud dengan "petugas agama" dalam Pasal ini adalah hanya
petugas Agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan
untuk menyimpan rahasia.
Penjelasan Pasal
37 ayat (1) pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian
terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang
berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri
(non self-incrimination).
Penjelasan Pasal
37 ayat (2) ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif
menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Penjelasan Pasal
38 ayat (1) ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan
untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun,
perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim.
Penjelasan Pasal
38 ayat (3) yang dimaksud dengan "Putusan" yang diumumkan atau
diberitahukan adalah petikan surat
putusan pengadilan.
Penjelasan Pasal
38 ayat (5) ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan pula untuk menyelamatkan
kekayaan negara.
Penjelasan Pasal
38 ayat (7) ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga
yang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin
dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak
pidana korupsi.
Penjelasan Pasal
38 B ketentuan dalam Pasal ini merupakan
pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga
keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai
tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda
tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan
prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari
segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak
pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Penjelasan Pasal
38 C Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal
ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi.
Harta benda
tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada
terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum
putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan
pada Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang
tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk
mewakili negara.
Penjelasan Pasal 39 yang dimaksud dengan
"mengkoordinasikan" adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang No. 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan.
Penjelasan Pasal
41 ayat (1) ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penjelasan Pasal
41 ayat (2) huruf e perlindungan hukum terhadap Pelapor dimaksudkan untuk
memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal
42 ayat (1) penghargaan kepada masyarakat yang
berjasa dalam tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan
penghargaan baik berupa piagam maupun premi.
[1] Undang-Undang ini telah mengalami perubahan pertama
dengan UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[2] Dalam Pasal I
angka 2 UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu
pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan
unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagaimana tercantum.
[3] Dalam Pasal I
angka 3. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di antara Pasal 12 dan Pasal 13
disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C,
yang berbunyi sebagaimana tercantum.
[4] Dalam Pasal I
angka 4. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di antara
Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang
berbunyi sebagaimana tercantum.
[5] Dalam Pasal I
angka 5. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 37
dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan
ketentuan sebagaimana tercantum.
[6] Dalam Pasal I
angka 6. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di antara
Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal
38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut sebagaimana
tercantum.
[7] Dalam Pasal I
angka 7. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di antara Bab
VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan
yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43
dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagimana tercantum.
[8] Dalam Pasal I
angka 8. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam BAB VII
sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagaimana
tercantum.
[9] Dalam
pernjelasan umum UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan berbunyi sebagaimana tercantum
[10] Dalam
Pasal I butir 1. UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (2) substansi tetap,
penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum .
[11] Dalam
pernjelasan Pasal I angka 2 UU No. 21/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan Pasal 5, 6, 7, 8, 9,
10, 11, 12 berbunyi sebagaimana tercantum.
[12] Dalam
pernjelasan Pasal I angka 3 UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No.
31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan Pasal 12A, 12B,
dan 12c berbunyi sebagaimana tercantum.
[13] Dalam
pernjelasan Pasal I angka 4 UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No.
31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan Pasal 26A
berbunyi sebagaimana tercantum.
[14] Dalam
pernjelasan Pasal I angka 5 UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No.
31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan Pasal 37 dan
37A berbunyi sebagaimana tercantum.
[15] Dalam
pernjelasan Pasal I angka 6 UU No. 20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No.
31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penjelasan Pasal 38A, 38B
dan 38C berbunyi sebagaimana tercantum.
Posting Komentar