
Untuk yang online di sediakan link menuju bagian dari title dan subtitle dari Undang-Undang ini sehingga memudahkan anda untuk membacanya BAB yang diinginkan, dan untuk kembali keatas halaman menuju kedaftar isi anda tinggal klik [PgUp] yang tersedia. Selamat menggunakan semoga bermanfaat!
Kategori : Undang-Undang
Nomor/Tahun : 5/1960
Tentang : Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Free Download : [pdf (153 kb)][eBOOK.exe(430 kb)]
[PgUp]
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA
Pasal 1.
(1) Seluruh
wilayah Indonesia adalah
kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia .
(2) Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia ,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional
(3) Hubungan
antara bangsa Indonesia
dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah
hubungan yang bersifat abadi.
(4) Dalam
pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya
serta yang berada dibawah air.
(5) Dalam
pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia .
(6) Yang
dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada
ayat (4) dan (5) pasal ini.
Pasal 2.
(1) Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak
menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
(3) Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3.
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1
dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 4.
(1) Atas
dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
(2) Hak-hak
atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang
ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
(3) Selain
hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan
pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 5.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 6.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7.
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 8.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam
bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9.
(1) Hanya
warga-negara Indonesia
dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa,
dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap
warga-negara Indonesia ,
baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi
diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 10.
(1) Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada
azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan
dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
(3) Pengecualian
terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.
Pasal 11.
(1) Hubungan
hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa
serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur,
agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan
atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan
dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
Pasal 12.
(1) Segala
usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk
gotong-royong lainnya.
(2) Negara
dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam
lapangan agraria.
Pasal 13.
(1) Pemerintah
berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa,
sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat
hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.
(2) Pemerintah
mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi
dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha
Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah
berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang
perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
(1) Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2)
serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial,
kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan
dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan
pertambangan.
(2) Berdasarkan
rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan
yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing.
(3) Peraturan
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II
dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan
pihak yang ekonomis lemah.
Pasal 16.
(1) Hak-hak
atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:.
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
(2) Hak-hak
atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
a. hak guna air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Pasal 17.
(1) Dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud
dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau
badan hukum.
(2) Penetapan
batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan didalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah
yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah.
(4) Tercapainya
batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan
peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Pasal 18.
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur
dengan Undang-undang.
Pasal 19.
(1) Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran
tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam
Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Pasal 20.
(1) Hak
milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
(2) Hak
milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21.
(1) Hanya
warga-negara Indonesia
dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh
Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
(3) Orang
asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu
didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung.
(4) Selama
seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan
asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku
ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22.
(1) Terjadinya
hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Selain
menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi
karena :
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang.
Pasal 23.
(1) Hak
milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
(2) Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24.
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya
dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 25.
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
Pasal 26.
(1) Jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap
jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada
suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal
21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta
semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya
jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya
musnah.
Pasal 28.
(1) Hak guna-usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam
jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan.
(2) Hak
guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan
ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal
yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
(3) Hak
guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29.
(1) Hak
guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk
perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha
untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) Atas
permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang
paling lama 25 tahun.
Pasal 30.
(1) Yang
dapat mempunyai hak guna-usaha ialah.
a. warga-negara Indonesia ;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia ,
(2) Orang
atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu
satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna-usaha, yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka
hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan
diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
Pasal 32.
(1) Hak guna-usaha,
termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan
serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir
Pasal 33.
Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan.
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka
waktunya berakhir;
b. dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut
untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya
musnah;
g. ketentuan
dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal 35.
(1) Hak
guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas
permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun.
(3) Hak
guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 36.
(1) Yang
dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah
a. warga-negara Indonesia ;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia .
(2) Orang atau
badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak
guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa
hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37.
Hak guna-bangunan terjadi:
a. mengenai
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah;
b. mengenai
tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang
bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38.
(1) Hak
guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
(2) Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak
itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 39.
Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka
waktunya berakhir;
b. dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut
untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya
musnah;
g. ketentuan
dalam pasal 36 ayat (2).
Pasal 41.
(1) Hak
pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
(2) Hak
pakai dapat diberikan:
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun.
(3) Pemberian
hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.
Pasal 42.
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. warga-negara
Indonesia ;
b. orang
asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia ;
d. badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia .
Pasal 43.
(1) Sepanjang
mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
(2) Hak
pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Pasal 44.
(1) Seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
(2) Pembayaran
uang sewa dapat dilakukan
a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
(3) Perjanjian
sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 45.
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
(1) warga-negara
Indonesia ;
(2) orang
asing yang berkedudukan di Indonesia ;
(3) badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia ;
(4) badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia .
Pasal 46.
(1) Hak
membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat ipunyai oleh warga-negara Indonesia
dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dengan
mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.
Pasal 47.
(1) Hak guna
air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air
itu diatas tanah orang lain.
(2) Hak
guna-air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 48.
(1) Hak guna
ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
(2) Hak guna
ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49.
(1) Hak
milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut
dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam
bidang keagamaan dan sosial.
(2) Untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal
14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
(3) Perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 50.
(1) Ketentuan-ketentuan
lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.
(2) Ketentuan-ketentuan
lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa
untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 51 .
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak
milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39
diatur dengan Undang-undang.
Pasal 52.
(1) Barangsiapa
dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
(2) Peraturan
Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26,
ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
(3) Tindak
pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
Pasal 53.
(1) Hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah
hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian
diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang
ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.
(2) Ketentuan
dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 54.
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21
dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonenesianya
mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak
kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan
perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarga-negaraan Indonesia
saja menurut pasal 21 ayat (1).
Pasal 55.
(1) Hak-hak
asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak
usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa
waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
(2) Hak
guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan
kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing,
jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional
semesta berencana.
Pasal 56.
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai
tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya
mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan
yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 57.
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan
tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan
mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia
dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Pasal 58.
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan
Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai
dengan itu.
Pasal I
(1) Hak
eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat
tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi
syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
(2) Hak
eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan
rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan
berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
(3) Hak eigendom
kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak
ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35
ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.
(4) Jika hak
eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dengan hak opstal atau hak erfpacht,
maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak
milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut
diatas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(5) Jika hak
eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak
erfpahct, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan
pemegang hak-hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
(6) Hak-hak
hypotheek, servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak
eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna-bangunan tersebut dalam ayat
(1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut
Undang-undang ini.
Pasal II
(1) Hak-hak
atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang
dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai
dibawah, yang ada pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak
agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe
desa, pesini, grand Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak
usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang
akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali
jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal
21.
(2) Hak-hak
tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warga-negara yang disamping
kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan hukum
yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat
(2) menjadi hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya,
sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal III.
(1) Hak
erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-usaha tersebut dalam
pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht
tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
(2) Hak
erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang
ini, sejak saat tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Pasal IV.
(1) Pemegang
concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun
sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada
Menteri Agraria agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.
(2) Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka
concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya.
tetapi paling lama lima
tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
(3) Jika
pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1)
pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh
Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka
concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling
lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang
ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak
guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa
waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti
yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur,
bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak
lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut
dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang
dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal VII
(1) Hak
gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
(2) Hak
gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai
tersebut pada pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai
yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3) Jika ada
keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap
atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Pasal VIII
(1) Terhadap
hak guna-bangunan tersebut pada pasal I ayat (3)dan (4), pasal II ayat (2) dan
V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
(2) Terhadap
hak guna-usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2)
pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan
perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
A. Hak-hak
dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada. waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
B. Hal-hal
yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok
Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia .
Didalam Negara Republik Indonesia , yang susunan kehidupan
rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air
dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita
cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang
seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat
yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal
justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu
disebabkan terutama :
a. karena
hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian ter- susun berdasarkan tujuan
dan sendir-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi
olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan
pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b. karena
sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut
mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat
di- samping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal
mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba sulit,
juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. karena
bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum
agraria baru yang nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang
ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi
kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang
di- maksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara
serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.
Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas
kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya
harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang
Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan
didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang
baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun
didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan
lainnya.
Sungguhpun undang-undang itu formil tiada bedanya
dengan undang-undang lainnya - yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat - tetapi mengingat akan
sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat
didalamnya hanyalah azas- azas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan
oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan
diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan
peraturan-perundangan lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya tujuan
Undang-undang Pokok Agraria ialah :
a. meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. meletakan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan ke- sederhanaan dalam hukum
pertanahan.
c. meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
(1) Pertama-tama
dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1 , yang menyatakan, bahwa
: "Seluruh wilayah In- donesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh
rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat
2 yang berbunyi bahwa : "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".
Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa-
sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak
semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah
didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samata-mata menjadi hak rakyat asli
dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka
hubungan bangsa Indonesia
dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam
hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada
tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang ang- kasa Indonesia
itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa
selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan
selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam
keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat me-
mutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun
sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang
angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan
pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia juga.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas
(sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa
hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan
milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya
dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik
yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 yo pasal 20).
Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat
dihaki oleh seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat
dan ter- penuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak
guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (pasal 4 yo 16).
Bagaimana kedudukan hak-hak tersebut dalam
hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan diuraikan dalam nomor 2
dibawah.
(2) "Azas
domein.. yang dipergunakan sebagai dasar dari- pada perundang-undangan agraria
yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang
baru. Azas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan
azas dari pada Negara yang merdeka dan modern. Berhubung dengan ini maka azas
tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu
misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874-
94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut
kembali. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk
mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak
perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara
bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan
Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1
yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh
Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan
"dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki",
akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai
organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada ting- katan yang
tertinggi :
a. mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b. menentukan
dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang
angkasa itu.
c. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Segala sesuatunya dengan tujuan : untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur
(pasal 2 ayat 2 dan 3).
Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu
mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh
seseorang maupun yang tidak.
Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai
orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai
seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan
haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi
hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan
pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II. Kekuasaan Negara atas
tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya
adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan
diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau
badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya
hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau
Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing
(pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun
sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal
mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di- bawah ini.
(3) Bertalian
dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai
yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan
mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa
ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi".
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada
pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana
dike- tahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta
diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut
diakui secara resmi didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa didalam
melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan
dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam
Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak
itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak
tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang
bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak
guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar
pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak
menerimanya selaku pegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat
dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya
menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk
melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah
hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa
pembangunan daerah-daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat
kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang *2604 merupakan pangkal pikiran
kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu
masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih
luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang
lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa
ini sesuatu masyarakat hukum masih memperta-hankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya
secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan
masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan
Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas
pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat
terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya.
Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas,
ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak
akan diperhatikan sama sekali.
(4) Dasar
yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial". Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang
ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak
berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula
kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan
haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok
: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah
suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar
bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah
ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum atau
instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam
melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis
lemah.
(5) Sesuai
dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21
ayat 1 hanya warganegara Indo-nesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik
kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat
mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada
dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).
Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai
hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak
milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup
bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak
pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah
usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas
maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak
dapat mem- punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma-
syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan
hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang
memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya
"escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak
milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah,
dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang
bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai
badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang
tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam
hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap
sebagai badan hukum biasa.
(6) Kemudian
dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut diatas ditentukan dalam
pasal 9 ayat 2, bahwa : "Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah
serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya".
Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat
kedudukan ekonominya. Maka didalam pasal 26 ayat 1 ditentukan, bahwa :
"Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah yang
akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang
dimaksudkan itu.
Dalam hubungan itu dapat ditunjuk pula pada
ketentuan- ketentuan yang dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang bermaksud mencegah
terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui
batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana bertentangan dengan azas
keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan
agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepen-tingan nasional
(pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi
dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli
swasta (pasal 13 ayat 2).
Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha
Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat
banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli hanya
dapat diselenggarakan dengan undang- undang (pasal 13 ayat 3).
(7) Dalam
pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi
dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh
dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang
disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu, bahwa
"Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh
pemiliknya sendiri".
Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu
diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang
batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia
mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya (pasal 13 yo pasal 17). Pula
perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai
dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan
golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu
azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan
kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian
kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan,
sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan
menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.
Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat
pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan da- tang
masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh
orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai
dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu
untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan silemah oleh
si-kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar
sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan
pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar
"freefight", akan tetapi pe- nguasa akan memberi ketentuan-ketentuan
tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan
dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l-'homme par
l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan didalam
Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N.
1960 - 2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu
azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2).
Dalam keadaan susunan msyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan
pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya
dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya
mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin
dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki
tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk
diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi
setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus
diusahakannya sendiri secara aktip. (ayat 3).
(8) Akhirnya
untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas
dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana ("planning")
mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa
untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum
("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang
kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional
planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu
maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat
membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak
jelas di-dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
(1) Sebagaimana
telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat
"dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut
hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada
ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara
sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai
bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.
Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus
sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat
Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang
baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu,
sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana
dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat
swapraja yang feodal.
(2) Didalam
menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang- undang Pokok Agraria tidak menutup
mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan
hukum dari golongan-golongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam
pasal 11 ayat 2, bahwa :
"Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan
keprluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional diperhatikan".
Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas
golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat
perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya.
Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
(3) Dengan
hapusnya perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam bidang hukum
agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan
terselenggarakan pula.
Sebagai yang telah diterangkan diatas, selain hak
milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-hak atas tanah,
menurut hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai
dengan g. Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat
kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan
pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna
mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat 1 huruf b
dan c). Adapun hak-hak yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini
semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-undang
Pokok Agraria.
Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah
ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal
23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan
maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19
ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah
Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster",
artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan
diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya
dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan
penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang
meliputi seluruh wilayah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan
kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang
bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya
itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi;
agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat
"rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan
mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil
dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang
meliputi seluruh wilahah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan
kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang
bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang
terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada
artinya sama sekali.
PERTAMA :
Pasal 1.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka
1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian
“bumi" dan "tanah", sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3
dan pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan "tanah" ialah permukaan
bumi. Perluasan pengertian "bumi" dan "air" dengan ruang
angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan ke-
mungkinan-kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang.
Pasal 2.
Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2).
Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan
pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak
penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala
sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang
agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.
Pasal 3.
Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu" ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut
"beschikkingsrecht". Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3).
Pasal 4
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka
1).
Pasal 5.
Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar dari
hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Pasal 6.
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II
angka 4).
Pasal 7.
Azas yang menegaskan dilarangnya
"groot-grondbezit" sebagai yang telah diuraikan dalam Penjelasan Umum
(II angka 7). Soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap
azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 8.
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2
hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka
wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai
kekayaan-kekayaan alam yang terkandung didalam tubuh bumi, air dan ruang
angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu
memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi
perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.
Pasal 9.
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II
angka 5). Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1
ayat 1 dan 2.
Pasal 10.
Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka
7). Kata- kata "pada azasnya" menunjuk pada kemungkinan diadakannya
pengecualian-pengecualian sebagai yang disebutkan sebagai misal didalam
Penjelasan Umum itu. Tetapi pengecualian-pengecualian itu perlu diatur didalam
peraturan perundangan (Bandingkan penjelasan pasal Penggunaan tanah milik oleh
bukan pemiliknya masih dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan
diatur.
Pasal 11.
Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada
golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah
itu bisa warganegara asli keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat
Penjelasan Umum (III angka 2).
Pasal 12.
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan
ketentuan- ketentuan dalam pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai
dengan ketentuan ini adalah bentuk koperasi dan bentuk- bentuk gotong-royong
lainnya. Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan diadakannya suatu
"usaha bersama" antara Negara dan Swasta dalam bidang agraria. Yang
dimaksud dengan "fihak lain" itu ialah pemerintah daerah, pengusaha
swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan "domestic capital"
yang progresip.
Pasal 13.
Ayat 1, 2 dan 3.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka
6). Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial
yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14.
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah
dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak
perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan
mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian
perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1
huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk
pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga
ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus
dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan
sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum ((II angka
4). Tanah wajib dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang
lazim dikerjakan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk
dari Jawatan-Jawatan yang bersangkutan.
Pasal 16.
Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam
pasal 4. Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum
pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak
atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum
adat. Dalam pada itu hak guna- usaha dan hak-guna-bangunan diadakan untuk
memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan,
bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Hak guna-bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan
dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan
keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara
dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53).
Pasal 17.
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa
yang di-tentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan
didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan
diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya
akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada
bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang
memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu
untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah
akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak
terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu. Ditetapkannya
batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang
dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu
pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan
("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan
usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa
dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara
berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri
serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya
berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala
keluarga.
Pasal 18.
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai
hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan
syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pasal 19.
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan
cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang
bersangkutan (Lihat Penjelasan Umum IV).
Pasal 20.
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak
milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang
"terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah.
Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak
terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut
pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan
dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata
"terkuat dan terpenuh" itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak
guna-usha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk
menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak
miliklah yang "ter" (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
Pasal 21.
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum
(II angka 5). Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena
lain-lain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara- cara yang diserbut
dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan
positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu. Sudah
selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara membiarkan diri
disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Negara lain,
dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan dri warganegara Indonesia
lainnya.
Pasal 22.
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik
menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya
tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara.
Pasal 23.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 24.
Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam
pasal 10. Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah
misalnya : sewa, bagi-hasil, pakai atau hak guna-bangunan.
Pasal 25.
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap
ditangan pemiliknya. Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk
sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53.
Didalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai.
Pasal 26.
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam
Penjelasan Umum (II angka 6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis
lemah. Dalam Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara
warganegara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah.
Fihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa
yang disebut dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21
mengenai siapa yang tidak dapat memiliki tanah.
Pasal 27.
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Pasal 28.
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan
tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
Bedanya dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan
untuk keperluan diatas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar.
Berlainan dengan hak pakai maka hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan
kepada fihak lain dan dapat dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun
tidak dapat diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum
yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal
55. Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan secara
yang tidak baik, karena didalam hal yang demikian hak guna-usahanya dapat
dicabut (pasal 34).
Pasal 29.
Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah
hak yang waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan
kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk
keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan
jangka-waktu 35 tahun misalnya mengingat pada tanaman kelapasawit.
Pasal 30.
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang
asing. Badan hukum yang dapat mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum
yang bermodal nasional yang progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi
badan-badan hukum yang bermodal asing hak guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya
untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur
pembangunan nasional semesta berencana (pasal 55).
Pasal 31 s/d 34.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan
dalam pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 35.
Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak
guna-bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik
seseorang.
Pasal 36.
Penjelasannya sama dengan pasal 30.
Pasal 37 s/d 40.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang
ditentukan dalam pasal 38 sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 41 dan 42.
Hak pakai adalah suatu "kumpulan
pengertian" dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan
berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan
daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai
yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang
dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria
yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan
Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat
berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan- badan
hukum asing dapat diberi hak-pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang
terbatas.
Pasal 43.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 44 dan 45.
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai
sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk
bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah
pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53). Negara tidak dapat
menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
Pasal 46.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan
adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur
dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada
kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.
Pasal 47.
Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan
ikan adalah mengenai air yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai
air yang berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk
dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh
air dari sungai, saluran atau mata air yang berada diluar tanah miliknya
sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas
tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau
mata air yang berada diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi
tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang
diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air
yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah
orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi
pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya
masing-masing.
Pasal 48.
Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan
tehnik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.
Pasal 49.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian
maka pasal ini memberi ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru
akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan
dalam pasal 5 dan pasal 14 ayat 1 hurub b.
Pasal 50 dan 51.
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini
hanya dimuat pokok-pokoknya saja dari hukum agraria yang baru.
Pasal 52.
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya
daripada peraturan-peraturan serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan
dari Undang-undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana sebagai
yang ditentukan dalam pasal ini.
Pasal 53.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.
Pasal 54.
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam
pasal 21 dan 26. Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C.
tetapi pada tanggal mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat
pengesahan akan terkena oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2
dan pasal VIII. Tetapi setelah pengesahan penolakan itu diperolehnya maka
baginya terbuka kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang
yang berkewarganegaraan Indonesia
tunggal. Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan didalam pasal 12
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh pengesahan
dari instansi yang berwenang.
Pasal 55.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30. Ayat 1
mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal
asing baru. Sebagaimana telah di- tegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian
hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan oleh
undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana.
Kedua :
Hak-hak yang ada sekarang ini menurut ketentuan
konversi ini semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.
Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III, IV
dan V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan
yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan
dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akta haknya yang di-
konversi itu, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru.
Ketiga :
Perubahan susunan pemerintahan desa perlu diadakan
untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya dari- pada perombakan hukum
agraria menurut Undang-undang ini. Pemerintah desa akan merupakan pelaksana
yang mempunyai peranan yang sangat penting. Keempat : Ketentuan ini bermaksud
menghapuskan hak- hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan
ketentuan undang-undang ini.
[PgUp]
[PgUp]
Posting Komentar