Alat Bukti Pengakuan

1. Peranan Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain.
Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri. Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat sulit dipulihkan. Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek hukum tertentu. Pada akhirnya tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan tujuan hukum secara keseluruhan yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena hukum perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata adalah hukum publik. Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum perdata materiil berisi kaidah yang mengatur kepentingan individu atau perorangan (mengandung sifat keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik, juga mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak dalam kaidah yang mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh dikesampingkan. Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktu mengajukan banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di depan sidang pengadilan, dan lain-lain.
Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan percaya kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan demikian hakim perdata tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau tidak, demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.

(a) Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[1] Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[2]
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah).
Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim, dan keterangan para saksi).
Alat bukti yang berasal dari diri para pihak dan diberikan berdasarkan atas kejujuran maka dapat dianggap terbukti sebagai suatu peristiwa tertentu. Sedangkan alat bukti yang berasal dari luar para pihak kadang-kadang masih perlu didukung oleh alat-alat bukti lain, terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap terbukti. Umpamanya saja, hanya terdapat satu orang saksi. Padahal diketahui dari adagium bahwa "satu saksi itu bukan saksi" (Unus testis nullus testis). Keterangan seorang saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian yang kuat di dalam hukum. Hal itu terutama untuk menghindari adanya kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam kesaksian itu. Kelemahan yang dimaksud, baik yang berasal dari iktikad buruk orang yang memberi kesaksian itu maupun kelamahan yang tidak disengaja. Sebagai contoh umpamanya, diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya. Atau dapat juga saksi yang keterangannya diperoleh dari orang lain (kesaksiande auditu). Padahal kesaksian de auditutidak dapat dianggap sebagai alat bukti kesaksian.
Demikian pula halnya dengan alat bukti surat yang kemungkinannya masih harus dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya masih belum dianggap terbukti. Ukuran perbedaan kekuatan sebagai alat bukti adalah karena besar atau kecilnya kemungkinan mendekati kepada kebenaran. Akta otentik umpamanya, lebih besar kemungkinan mendekati kepada kebenaran, karena telah dikuatkan oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu barangsiapa yang mengajukan akta otentik sebagai alat bukti di persidangan, maka akta otentik tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. Sebagai kon sekuensinya, barangsiapa yang membantah keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan bahwa akta tersebut tidak benar. Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan, jika akta di bawah tangan dibantah kebenarannya, maka barangsiapa yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut sebagai alat bukti, maka yang bersangkutan harus mebuktikan kebenarannya.
Kemudian menyangkut masalah bukti persangkaan hakim, untuk alat bukti ini masih memerlukan adanya bukti-bukti lain. Ini disebabkan persangkaan hakim itu timbul berdasarkan adanya bukti atau dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.

Faktor Keinsyafan Batin Manusia
"...Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi...".[3]
Dari batasan di atas dapat difahami bahwa pengakuan merupakan pernyataan dari salah satu pihak di persidangan, yang timbul atas dorongan naluriah manusia. Naluri manusia-lah yang mengarahkan untuk mewujudkan cita-cita kebenaran. Oleh karena itu maka pengakuan yang jujur merupakan pernyataan dari salah satu pihak untuk mengemukakan yang benar, walaupun merugikan dirinya sendiri.
O. Notohamidjojo,[4] dalam bukunya mengemukakan antara lain bahwa: "...keinsyafan batin atau nurani manusia adalah sebagai alat pengontrol dalam diri manusia untuk memihak kepada yang baik dalam menghadapi suatu keadaan antara yang baik dan yang buruk, antara salah dan benar...".
Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya merupakan suatu tinjauan tentang kepribadian manusia itu sendiri. Hal itu karena pengakuan timbul berdasarkan dorongan keinsyafan batin manusia. Pengakuan itu berarti membenarkan tentang suatu hal atau kejadian. Oleh karena itu maka pengakuan yang patut dihargai adalah pengakuan yang jujur atau yang benar-benar timbul dari keinsyafan batin para pihak yang berperkara. Pengakuan yang timbul karena keinsyafan batin ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras dengan kebenaran, atau telah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi.

Faktor Pemikiran yang Logis
Untuk menentukan kebenaran terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu diperlukan akal, sementara akal itu dimiliki oleh setiap orang. Akal itulah yang menjadi hakim dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan suatu keputusan atas setiap kejadian.
Faktor pikiran logis ini merupakan pendukung bagi para pihak untuk memberikan pengakuan yang jujur, sebab akal yang ada padanya dapat menentukan pilihannya, untuk melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang diharapkan. Untuk dapat menentukan pilihannya itu maka ia berpedoman kepada kaidah-kaidah tentang apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono Dirdjosisworo,[5] mengemukakan bahwa masalah kepatuhan hukum itu menyangkut kemampuan individu dalam menghayati aturan hukum yang dibentuk. Menghayati benar atau tidak kaidah hukum yang dihadapinya akan menetapkan pilihan sikap untuk patuh atau menyeleweng dari patokan kaidah yang ada. Kesadaran seseorang untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan hukum, berkaitan dengan penilaian yang diberikan untuk melakukan perilaku tersebut. Penilaian tersebut timbul oleh karena manusia di dalam menentukan kehendaknya sangat ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan perasaannya.

(b) Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa pada permulaan sidang, hakim haraus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil didamaikan, maka hakim akan mempersilakan penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte, bantahan, dan pengakuan.
Referte adalah jawaban dari pihak tergugat yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat tidak membantah dan tidak pula membenarkan gugatan.[6] Tergugat memohon keadilan kepada hakim, sehingga apa yang harus dilakukan selama persidangan itu diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Referte ini bukan pengakuan dan bukan pula bantahan. Sedangkan bantahan(verweer) dapat berupa tangkisan (eksepsi) atau sangkalan. Tangkisan belum menyangkut pokok perkara, sedangkan sangkalan telah berhubungan dengan pokok perkara (verweer ten principale). Di samping referte dan sangkalan, jawaban tergugat juga dapat berupa sepenuhnya pengakuan (pengakuan murni).
Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal itu karena menyangkut pembuktian, sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal yang memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak bulat, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan, yaitu
Pertama, pengakuan murni;
Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; dan
Ketiga, pengakuan dengan klausula.[7]
Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi terhadap pengakuan. Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat membebaskan.

2. Macam-macam Alat Bukti Pengakuan

(a) Pengakuan Murni (aveu pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan.[8] Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan di depan sidang.[9]
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran".[10]
Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.[11]
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Sedangkan dalam perkara perceraian, dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya perceraian, sehingga diharapkan tujuan Undang-undang perkawinan dapat tercapai. Oleh karena itu di dalam kedua perkara tersebut hanya dengan bukti pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan.
Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu sebagai alat bukti sempurna.[12] Terhadap masalah ini Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan yang justeru lebih luas interpretasinya. Dalam putusan tentang masalah wanprestasi terhadap utang, isinya antara lain: bahwa "pengakuan merupakan alat bukti ang sempurna, bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak perlu diperhatikan karena telah mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna.[13]

(b) Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang dilakukan oleh tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.[14] Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.

(c) Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)
Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberi pengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan. Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.
Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat.[15]
Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.

Sebagai mana mengenai uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Sumber :
Eman Suparman (Lektor Kepala Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Unpad Bandung) Makalah Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata.


[1] Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970. Lihat pula penjelasan pasal tersebut.
[2] R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., halaman 107
[3] R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., halaman 107.
[4] O. Notohamidjojo,Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975, halaman 21.
[5] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983, halaman
75.
[6] R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara...Op.cit., halaman 92.
[7] R.M. Sudikno Mertokusumo, Loc. cit., halaman 150.
[8] Ibid. , halaman 150.
[9] Retnowulan Sutantio, Op. Cit., halaman 81.
[10] A.Pitlo, Hukum Pembuktian dan Daluarsa menurut BW Belanda. 1978, halaman 64.
[11] Periksa, Putusan PN Denpasar No. 159/Pdt./1966 tanggal 30 Januari 1967, antara lain dikatakan bahwa: gugatan penggugat seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”
[12] Periksa, Putusan PN Singaraja No. 133/Pdt./1960, tanggal 21 Mei 1970. Putusan PN Klungkung No.
540/Pdt./1963, tanggal 19 Oktober 1963.
[13] Lihat Putusan PN Surabaya No. 09/1980/Pdt-G, tanggal 1 September 1980.
[14] R.M. Sudikno Mertokusumo,O p. cit . , halaman 150
[15] Putusan MA Nomor 29K/Sip/1950, Tanggal 24 Mei 1951H. 1951 No. 1, halaman 25.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Law File - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger