Apabila pada hari yang telah ditentukan para pihak yang berperkara perdata hadir
dipersidangan, menurut ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154 ayat (1) RBg,
hakim diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian antar mereka.
Dalam rangka mengefektifkan ketentuan pasal diatas Mahkamah Agung
mengeluarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg) yang
kemudian diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 11
September 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan MA tersebut
dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih
cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.
Putusan perdamaian yang dibuat oleh hakim karena adanya perdamaian antara
pihak-pihak yang berperkara tersebut kekuatannya sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal
154 ayat 2 RBg/Pasal 185 ayat (1) BW jo. MA tanggal 1-8-1973 Nomor 1038
K/Sip/1972).
Mengapa putusan perdamaian tersebut
mempunyai kekuatan yang sama dengan
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap? Sebabnya karena putusan tersebut didasarkan pada perdamaian yang justru
dibuat oleh pihak –pihak yang berperkara, untuk menyelesaikan perkara mereka
sendiri menurut kehendak mereka sendiri, bukan sebagai hasil pertimbangan dan penerapan hukum positif yang dilakukan
oleh hakim. Oleh sebab itu sudah selayaknya apabila perjanjian perdamaian
tersebut dipertanggungjawabkan sendiri oleh oleh pihak-pihak yang berperkara yang
membuatnya. Dengan demikian, logislah apabila putusan perdamaian tersebut ,
menurut Pasal 130 ayat (3) HIR/Pasal 154
ayat (3) RBg, tidak dapat dimintakan banding.
__________________________________
Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi
Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009