Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan dan dapat pula berupa bantahan atau
penyangkalan. Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik
sebagian maupun seluruhnya. Sedangkan bantahan atau penyangkalan berarti menolak
atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat.
Menurut Wirjono Prodjodikkoro, bantahan tergugat yang hanya menyatakan
secara umum bahwa semua yang diajukan penggugat tidak benar dan ditolak begitu
saja tanpa disertai alasan-alasan, bantahan seperti ini sebetulnya tidak
berarti sama sekali dan sama dengan tidak mengadakan perlawanan.[1]
Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu :
- Jawaban yang tidak langsung
mengenai pokok perkara yang disebut eksepsi
(tangkisan); dan
- Jawaban yang langsung mengenai
pokok perkara.
Eksepsi (tangkisan) dapat dibagi atas 2 (dua) macam, yaitu :
- Eksepsi prosesuil adalah eksepsi yang
didasarkan pada Hukum Acara Perdata. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya:
- eksepsi yang menyatakan hakim
tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat;
- eksepsi yang menyatakan bahwa
perkara yang diajukan penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim;
- eksepsi yang menyatakan bahwa
penggugat tidak mempunyai kedudukan
sebagai penggugat (eksepsi
diskualifikasi);
- dan sebagainya.
- eksepsi yang menyatakan hakim
tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat;
- Eksepsi materiil adalah eksepsi yang
didasarkan pada hukum Perdata Materiil. Termasuk dalam eksepsi ini, antara lain
adalah :
- eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum sampai
waktunya untuk diajukan (dilatoire exceptie), jadi eksepsi yang
bersipat menunda;
- eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan
penggugat (paremtoire excepsi),
misalnya eksepsi yang menyatakan bahwa piutang yang dituntut oleh penggugat
sudah hapus karena pembebasan atau karena kopensasi pembayaran.
- dan sebagainya.
- eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum sampai
waktunya untuk diajukan (dilatoire exceptie), jadi eksepsi yang
bersipat menunda;
HIR dan RBg hanya mengatur eksepsi tentang tidak berwenangnya hakim
memeriksa perkara (Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 136 HIR/Pasal 149 ayat
2, Pasal 160, Pasal 162 RBg).
Pasal 132b ayat (3) HIR yang sama isinya dengan
Pasal 158 ayat (3) RBg selanjutnya menyatakan bahwa gugatan penggugat (konvensi) dan gugatan balik tergugat (rekonvensi) diperiksa sekaligus dan
diputuskan dalam satu keputusan, kecuali hakim mempunyai pendapat dimana salah
satu gugatan diputuskan lebih dahulu dari gugatan yang lain, tetapi gugatan yang
belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai
dijatuhkan keputusan terakhir.
Dalam Pasal 132a ayat (2) HIR/Pasal 157 ayat (2)
RBg menentukan bahwa jika dalam persidangan tingkat pertama tidak diajukan
gugatan rekonvensi, dalam tingkat
banding tidak dapat diajukan lagi.
[1] Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung, Cet. VI, 1975, hal 60.
Sumber : H. Riduan
Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, Cet. V, 2009