Perbatasan dua kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Laut provinsi Kalimantan Selatan sebenarnya adalah persoalan yang biasa saja, namun karena terlalu banyak kepentingan sehingga permasalahan seakan dibuat sedemikian rupa menjadi persoalan publik.
Coba kita bandingkan dengan persoalan jalan negara sepanjang pasar minggu dan Hotel Mega Tanah Bumbu, para elit hanya diam, bisu, idem, ngorok dan lain-lain, paling-paling teriakan kecil disudut kota dari orang-orang kecil dan TIK-TAK (Teriak Aktivis Tanpa Amplok) yang memang peduli.
Sebenarya persoalan tapal batas bisa diselesaikan secara prosudural, mekanisme administrasi dan kalau dibutuhkan melalui Hukum dan Peradilan, bukan dengan cara provokasi warga yang tentu bisa berdampak kerusuhan dan konflik.
Dalam islam kita diajarkan untuk damai apalagi dalam hal ini saya pikir warga diperbatasan adalah sesama muslim, tentu tidak dibenarkan muslim yang satu dengan muslim yang lain menebarkan kebencian apalagi permusuhan, kata kunci dari persoalan dari tapal batas adalah kepentingan.
Ada dua hal yang justru inflikasi yang ditimbulkan dari persoalan tapal batas jika semua pihak tidak melaksanakan sesuai aturan main dan mengedepankan persatuan dan kesatuan yaitu memungkinkan terjadinya gratifikasi dan juga terjadi konflik, tentu ini harus diwaspadai aparat penegak hukum sejak dini, kalau boleh saya katakan siaga 1 (satu) untuk dua hal ini.
Saya memang tidak bisa mengatakan siapa yang paling benar diantara pihak yang bersengketa, namun saya berpendapat jika ada gratifikasi dan provokasi warga yang berbahaya buat ketentraman itu jelas salah dan mesti diusut tuntas.
Sejak dimekarkan maka perbatasan Tanah Bumbu mengacu pada UU Nomor 2/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan Di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan pasal 3, pasal 5 dan pasal 6 menjelaskan bahwa batas tanah bumbu mengacu pada batas kotabaru sebelum dimekarkan, dan Penentuan batas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Namun persoalannya perbatasan yang sekarang menjadi sengketa apakah sudah sesuai dengan batas Kab. Kotabaru sebelum menjadi pemekaran Tanah Bumbu, lalu bagai mana dengan posisi tapal batas apakah yang sekarang sudah mencakup seperti pada keputusan Gubernur yang pernah dikeluarkan pada tahun 1981?.
Memang jika lahan yang disengketakan isinya hanya semak belukar tentu persoalannya tidak serumit sekarang. Saat batubara belum menjadi primadona, tapal batas tersebut tidak pernah ada yang mengutak atik, namun sekarang tapal batas menjadi isu penting karena diprediksi mengandung sumber daya alam yang luar biasa.
Sah sah saja mempersoalkan tapal batas apalagi itu merupakan bagian wilayah kita yang mengandung sumber daya alam, tapi akan menjadi sangat tidak pantas jika dalam proses penentuan tapal batas diwarnai provokasi warga yang mengarah konflik, lalu dimana hati nurani kita apakah kita punya keimanan atau kita ingin menjadi iblis yang hanya menghancurkan ketentraman umat manusia yang satu dengan yang lainnya dengan cara provokasi.
Sebagai warga negara yang mengedepankan hati nurani dan hukum saya tidak akan diam untuk itu, dan saya telah memiliki beberapa catatan penting yang akan menjadi dasar bahwa persoalan tapal batas diwarnai proses yang kurang sehat, tapi saya tegaskan dalam hal ini posisi saya bukan berdiri untuk DPRD Tanah Bumbu ataupun Sekda Kabupaten Tanah Bumbu CS, perlu dipertegas saya hanya ingin proses penentuan tapal batas dilakukan secara sehat dan mengedepankan hukum, agar masyarakat disekitar perbatasan tetap damai dan tentram, jika terjadi konflik maka saya punya catatan dan bukti awal yang bisa menjadi masukan aparat penegak hukum untuk memeriksa siapa saja yang telah melakukan provokasi.
Sampai hari ini mendagri belum menetapkan secara pasti persoalan tapal batas yang menjadi sengketa, tentu tidak ada seorangpun boleh menggarap lahan tersebut sampai penetapan mendagri ada.
Maka itu sebagai warga negara marilah bersama agar kita mengawasi perkembangan tapal batas supaya berjalan dengan sehat dan tanpa mengorbankan warga masyarakat kita.
Coba kita bandingkan dengan persoalan jalan negara sepanjang pasar minggu dan Hotel Mega Tanah Bumbu, para elit hanya diam, bisu, idem, ngorok dan lain-lain, paling-paling teriakan kecil disudut kota dari orang-orang kecil dan TIK-TAK (Teriak Aktivis Tanpa Amplok) yang memang peduli.
Sebenarya persoalan tapal batas bisa diselesaikan secara prosudural, mekanisme administrasi dan kalau dibutuhkan melalui Hukum dan Peradilan, bukan dengan cara provokasi warga yang tentu bisa berdampak kerusuhan dan konflik.
Dalam islam kita diajarkan untuk damai apalagi dalam hal ini saya pikir warga diperbatasan adalah sesama muslim, tentu tidak dibenarkan muslim yang satu dengan muslim yang lain menebarkan kebencian apalagi permusuhan, kata kunci dari persoalan dari tapal batas adalah kepentingan.
Ada dua hal yang justru inflikasi yang ditimbulkan dari persoalan tapal batas jika semua pihak tidak melaksanakan sesuai aturan main dan mengedepankan persatuan dan kesatuan yaitu memungkinkan terjadinya gratifikasi dan juga terjadi konflik, tentu ini harus diwaspadai aparat penegak hukum sejak dini, kalau boleh saya katakan siaga 1 (satu) untuk dua hal ini.
Saya memang tidak bisa mengatakan siapa yang paling benar diantara pihak yang bersengketa, namun saya berpendapat jika ada gratifikasi dan provokasi warga yang berbahaya buat ketentraman itu jelas salah dan mesti diusut tuntas.
Sejak dimekarkan maka perbatasan Tanah Bumbu mengacu pada UU Nomor 2/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan Di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan pasal 3, pasal 5 dan pasal 6 menjelaskan bahwa batas tanah bumbu mengacu pada batas kotabaru sebelum dimekarkan, dan Penentuan batas wilayah Kabupaten Tanah Bumbu secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Namun persoalannya perbatasan yang sekarang menjadi sengketa apakah sudah sesuai dengan batas Kab. Kotabaru sebelum menjadi pemekaran Tanah Bumbu, lalu bagai mana dengan posisi tapal batas apakah yang sekarang sudah mencakup seperti pada keputusan Gubernur yang pernah dikeluarkan pada tahun 1981?.
Memang jika lahan yang disengketakan isinya hanya semak belukar tentu persoalannya tidak serumit sekarang. Saat batubara belum menjadi primadona, tapal batas tersebut tidak pernah ada yang mengutak atik, namun sekarang tapal batas menjadi isu penting karena diprediksi mengandung sumber daya alam yang luar biasa.
Sah sah saja mempersoalkan tapal batas apalagi itu merupakan bagian wilayah kita yang mengandung sumber daya alam, tapi akan menjadi sangat tidak pantas jika dalam proses penentuan tapal batas diwarnai provokasi warga yang mengarah konflik, lalu dimana hati nurani kita apakah kita punya keimanan atau kita ingin menjadi iblis yang hanya menghancurkan ketentraman umat manusia yang satu dengan yang lainnya dengan cara provokasi.
Sebagai warga negara yang mengedepankan hati nurani dan hukum saya tidak akan diam untuk itu, dan saya telah memiliki beberapa catatan penting yang akan menjadi dasar bahwa persoalan tapal batas diwarnai proses yang kurang sehat, tapi saya tegaskan dalam hal ini posisi saya bukan berdiri untuk DPRD Tanah Bumbu ataupun Sekda Kabupaten Tanah Bumbu CS, perlu dipertegas saya hanya ingin proses penentuan tapal batas dilakukan secara sehat dan mengedepankan hukum, agar masyarakat disekitar perbatasan tetap damai dan tentram, jika terjadi konflik maka saya punya catatan dan bukti awal yang bisa menjadi masukan aparat penegak hukum untuk memeriksa siapa saja yang telah melakukan provokasi.
Sampai hari ini mendagri belum menetapkan secara pasti persoalan tapal batas yang menjadi sengketa, tentu tidak ada seorangpun boleh menggarap lahan tersebut sampai penetapan mendagri ada.
Maka itu sebagai warga negara marilah bersama agar kita mengawasi perkembangan tapal batas supaya berjalan dengan sehat dan tanpa mengorbankan warga masyarakat kita.
Sebagai bahan pengetahuan kita saya akan berbagi beberapa hal yaitu :
Hukum Gratifikasi (UU No.20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan :
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Hukum Gratifikasi (UU No.20/2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31/1999 Tantang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan :
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Penjelasan :
Renungan Bahaya Provokasi
Api ada kalau ada asap…
Api menyala karena ada pemicunya….
Apakah kita akan selalu memadamkan api yang membakar?
Apakah kita akan selelalu menjaga agar api tidak membakar?
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Renungan Bahaya Provokasi
Api ada kalau ada asap…
Api menyala karena ada pemicunya….
Apakah kita akan selalu memadamkan api yang membakar?
Apakah kita akan selelalu menjaga agar api tidak membakar?
Apakah kita akan membakar amarah masyarakat?
Apakah kita akan tetap membiarkan warga damai tanpa terbakar amarah?
Dimana, siapa yang mengobarkan api?
Mengapa harus dikobarkan?
Kenapa harus bermain dengan api?
Bagai mana jika ada asap dan masyarakat terbakar oleh api itu?
Merenunglah sejenak agar yang kau perbuat tidak berdampak....
Masyarakat perbatasan adalah saudara kita, keluarga kita dan bahkan juga seiman dengan kita...
Sekali lagi demi sebuah kedamaian dinegeri ini jangan kau lakukan provokasi...
Posting Komentar