1. Arti dan dasar alat
bukti saksi
Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara
perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau
menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang hakim.
Saksi-saksi
itu ada yang kebetulan melihat atau yang mengalami sendiri suatu peristiwa yang
harus dibuktikan di muka hakim, ada keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain,
ia tidak mendengar atau melihat sendiri, hanya ia dengar dari orang lain
tentang kejadian tersebut atau hal-hal tersebut, ini disebut testimonium de auditu, dan ada
yang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang
dilakukan, misalnya menyaksikan pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan
dan lain sebagainya.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara
Perdata di Indonesia menyatakan bahwa :
“Sementara orang berpendapat dengan adanya Pasal 171 ayat (2), maka kesaksian dari orang lain (testimonium de auditu) tidak dibolehkan. Sebenarnya testimonium de auditu bukan merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir, karena itu tidak dilarang. Hanya saja harus diingat bahwa yang dikemukakan oleh saksi adalah kenyataan, bahwa orang ketiga diluar sidang pengadilan pernah mengatakan sesuatu. Tidak ada larangan untuk mempergunakan perkataan orang tersebut guna menyusun suatu alat bukti berupa persangkaan.” [i]
Keterangan yang diberikan saksi haruslah tentang
peristiwa atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri, atau dialami
sendiri. Jadi
yang dimaksud bukti dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
didepan sidang pengadilan tentang suatu peristiwa, kejadian atau keadaan
tertentu yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan dialami sendiri.
Dalam Pasal 300 ayat (1) HIR mengatakan bahwa hakim Pengadilan Negeri tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa jika terdakwa menyangkal kesalahannya dan hanya ada seorang saksi saja yang mmberatkan terdakwa sedangkan tidak ada alat bukti lain.
Artinya yang dimaksut pasal tersebut bahwa
keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk
membuktikan, harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain. Kalau didasarkan atas keterangan itu saja,
maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti, inilah yang disebut asas unus testis nullus testis yaitu satu saksi bukan saksi .
2. Syarat bukti keterangan saksi
Seperti halnya pada alat bukti pada umumnya, alat
bukti saksi pun mempunyai syarat formil dan materiil, antara kedua sifat ini
bersifat komulatif, bukan alternatif. Oleh karena itu, apabila salah satu
syarat mengandung cacat, mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat
bukti saksi.
Sekiranya syarat formil terpenuhi menurut hukum,
tetapi salah satu syarat materiil tidak lengkap, tetap saksi yang diajukan
tidak sah sebagai alat bukti. Atau sebaliknya, syarat materiil terpenuhi,
tetapi syarat formil tidak, hukum tidak menolerirnya, sehingga saksi itu tidak
sah sebagai alat bukti.
Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus
bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang
sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila
ia dengan sengaja memberi keterangan palsu, maka saksi dapat dituntut dan
dihukum untuk sumpah palsu.
Dalam memberikan nilai kesaksian pasal 172 HIR
memberikan petunjuk sebagai berikut:
Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim
memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain atau
persetujuan persaksian-kesaksian dengan yang diketahui dari tempat lain tentang
perkara yang diperselisihkan segala sebab yang kiranya ada pada saksi-saksi
untuk menceritakan perkara itu, cara hidup, adat dan martabat saksi dan pada
umumnya segala hal ihwal yang boleh berpengaruh sehingga saksi itu dapat
dipercaya atau kurang dipercayai.
syarat-syarat bukti formil dan materiil saksi
adalah:
Syarat formil saksi:
- Berumur
15 tahun keatas;
- Sehat
akalnya;
- Tidak
ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu phak menurut
keturunan yang lurus, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
- Tidak
ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun bercerai (pasal 145
(1) HIR);
- Tidak
ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2)
HIR), kecuali undang-undang menentukan lain;
- Menghadap
di persidangan;
- Mengangkat
sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)
- Berjumlah
sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suuatu peristiwa atau dikuatkan
dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali dalam perzinaan;
- Dipanggil
diruang sidang satu demi satu (pasal 144 (1) HIR);
- memberi
keterangan secara lisan.
Syarat
materiil saksi:
- Menerangkan
apa yang dilihat, ia dengar, dan ia alami sendiri (pasal 171 HIR);
- Diketahui
sebab-sebab ia mengetahui peristiwa (pasal 171 (1) HIR);
- Bukan
merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171 (2) HIR);
- Saling
bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR);
- Tidak
bertentangan dengan akal sehat.
Alat bukti saksi diatur
dalam Pasal 139-Pasal 152, Pasal 168-Pasal 172 HIR/Pasal 165-179, Pasal 309 RBg/Pasal 1895, Pasal
1902-Pasal 1908 BW.
Menurut Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148
HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan Pasal 176 RBg, seseorang yang tanpa alasan yang
sah tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi
sebagai berikut :
- Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah
dikeluarkan untuk memanggilnya menjadi saksi;
- Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau
perlu dengan bantuan polri;
- Dimasukan dalam penyanderaan.
H. Riduan Syahrani,
S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara
Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009
http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2171410-alat-bukti-saksi/#ixzz1QzgAvhsH