Alat
bukti tulisan dalam perkara perdata menempati urutan pertama, berbeda dengan
perkara pidana yang menempatkan kesaksian pada urutan pertama, mengapa
demikian? Hal ini karena seseorang yang melakukan tindak
pidana selalu menyingkirkan atau melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja
yang memungkinkan terbongkarnya tindak pidana yang dilakukannya, sehingga
terbongkarnya tindak pidana dan pelaku-pelakunya kebanyakan dari orang-orang
yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri kejadian yang
merupakan tindakan pidana itu. Sebaliknya dalam lapangan perdata misalnya
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perhibahan, perwasiatan dan
sebagainya, orang yang melakukan peristiwa tersebut umumnya dengan sengaja
membuat bukti tulisan untuk keperluan pembuktian dikemudian hari jika
diperlukan .
Alat bukti tulisan atau surat diatur dalam pasal
138, 165, dan 167 HIR/Pasal 164, 285, dan 305 RBg/Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal
1867-1894 BW.
Alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.
Alat bukti tulisan terbagi
atas 2 (dua) macam, yaitu akta dan tulisan bukan akta sebagai mana diuraikan
dibawah ini.
1. Akta
Akta ialah suatu tulisan yang
dimuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan
ditandatangani oleh pembuatnya.
Kemudian akta dibedakan
lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu Akta otentik dan Akta
dibawah tangan :
a. Akta otentik adalah akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu menurut ketentuan
undang-undang.
Akta otentik ini dibedakan
lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.
Akta
otentik yang dibuat oleh pejabat yang sering disebut dengan akta pejabat (acte ambtelijk);dan
2.
Akta
otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang sering disebut dengan akta partai (acte partij).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg/Pasal 1870 BW, para ahli menyimpulkan bahwa akta otentik merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Mengikat dalam arti bahwa apa yang dicantumkan dalam akta tersebut harus dipercayai oleh hakim, yaitu harus dianggap sesuatu yang benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan sempurna dalam arti bahwa dengan akta otentik tersebut sudah cukup untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau hak tanpa perlu penambahan pembuktian dengan alat-alat bukti lain.
Pada suatu akta otentik
terdapat 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian :
Pertama, mempunyai
kekuatan pembuktian formil, yang membuktikan antara para pihak bahwa mereka
sudah menerangkan apa yang tertulis dalam akta tersebut.
Kedua, mempunyai pembuktian
materiil, yang membuktikan antara para pihak bahwa apa-apa yang mereka
terangkan, kemudian ditulis dalam akta, sungguh-sungguh terjadi.
Ketiga, mempunyai kekuatan
pembuktian lahir atau keluar, yang membuktikan tidak saja antara para pihak
yang bersangkutan, tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada tanggal yang
tertulis dalam akta itu kedua belah pihak telah menghadap pejabat umum dan
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
b. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat
sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan
tanpa bantuan pejabat umum.
Menurut yang dimaksud Pasal 1b ordonansi 1867 Nomor 29/Pasal 288 RBg/Pasal 1875 BW bahwa kalau tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan sudah diakui, akta dibawah tangan tersebut merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik, tidak lain hanyalah ditujukan pada kekuatan pembuktian pertama (formil) dan kedua (materiil). Sedangkan kekuatan pembuktian keluar terhadap pihak ketiga, sama sekali tidak ada pada akta dibawah tangan.
2. Tulisan Bukan Akta
Tulisan
bukan akta
ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa
dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Para
sarjana mengatakan bahwa kekuatan pembuktian tulisan-tulisan yang bukan akta
adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim mempunyai kebebasan untuk
mempercayai atau tidak mempercayai tulisan-tulisan yang bukan akta tersebut.[1]
[1] Ny. Retnowulan
Sutantie, SH, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, Cet. I, 1979, Hal. 62
Sumber : H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar
Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009