1. Peranan Alat Bukti
Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum
perdata materiil dengan hukum perdata
formal (hukum
acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa
keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan
kaidah hukum yang mengatur atau
berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek
hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang
pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek
hukum lain.
Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan
dari hukum materiil itu sendiri.
Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para subjek
hukum yang mengadakan hubungan
hukum akan sangat sulit dipulihkan. Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas penegakan hak atau kewenangan
subjek hukum terhadap objek hukum tertentu. Pada akhirnya tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan
tujuan hukum secara keseluruhan
yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum
acara perdata, karena hukum
perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata
adalah hukum publik. Pembedaan ini pun terjadi karena adanya
perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum perdata materiil berisi kaidah yang mengatur
kepentingan individu atau perorangan (mengandung sifat
keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah
yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum
materiil jika hukum materiil itu dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat
publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung
sifat-sifat sebagai hukum publik, juga mengandung sifat-sifat
keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal
kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh
para pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat
publiknya tampak dalam kaidah yang mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan terdapat
ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut
tidak boleh dikesampingkan. Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktu mengajukan banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti
yang diajukan para pihak di depan sidang
pengadilan, dan lain-lain.
Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat
kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti
merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan percaya kepada
kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan demikian hakim perdata tidak boleh
memeriksa secara mendalam tentang latar
belakang pernyataan
para pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan
itu palsu atau tidak, demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.
(a) Faktor-faktor yang
Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.[1] Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan kepadanya, hakim
memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan
para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi
dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[2]
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah).
Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim,
dan keterangan para saksi).
Alat bukti yang berasal dari diri para pihak dan
diberikan berdasarkan atas kejujuran maka dapat
dianggap terbukti sebagai suatu peristiwa tertentu. Sedangkan alat bukti yang
berasal dari luar para pihak kadang-kadang masih
perlu didukung
oleh alat-alat bukti lain, terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap terbukti. Umpamanya
saja, hanya terdapat
satu orang saksi. Padahal diketahui dari adagium bahwa "satu
saksi itu bukan saksi" (Unus testis nullus
testis). Keterangan
seorang
saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian yang kuat di
dalam hukum. Hal itu terutama
untuk menghindari adanya kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam kesaksian itu. Kelemahan
yang dimaksud, baik yang berasal dari iktikad buruk orang yang memberi
kesaksian itu maupun kelamahan
yang tidak disengaja. Sebagai
contoh umpamanya, diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya. Atau dapat juga saksi
yang keterangannya diperoleh dari orang lain
(kesaksiande auditu). Padahal kesaksian de auditutidak dapat dianggap
sebagai alat bukti
kesaksian.
Demikian pula halnya dengan alat bukti surat yang kemungkinannya
masih harus dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya masih belum
dianggap terbukti. Ukuran perbedaan kekuatan sebagai alat
bukti adalah karena besar atau kecilnya kemungkinan mendekati kepada kebenaran. Akta otentik
umpamanya, lebih besar kemungkinan mendekati kepada
kebenaran, karena telah dikuatkan
oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu
barangsiapa yang mengajukan akta otentik sebagai alat
bukti di persidangan, maka akta otentik tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. Sebagai kon sekuensinya, barangsiapa yang
membantah keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan bahwa akta tersebut tidak benar.
Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan, jika akta di bawah tangan dibantah kebenarannya, maka barangsiapa yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut sebagai alat bukti, maka yang bersangkutan harus mebuktikan
kebenarannya.
Kemudian menyangkut masalah
bukti persangkaan hakim, untuk alat bukti ini masih
memerlukan adanya bukti-bukti lain. Ini disebabkan persangkaan hakim itu timbul berdasarkan adanya bukti atau dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.
Faktor Keinsyafan Batin
Manusia
"...Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi...".[3]
Dari batasan di atas dapat difahami bahwa pengakuan merupakan pernyataan dari salah satu pihak di
persidangan, yang timbul atas dorongan naluriah manusia. Naluri manusia-lah
yang mengarahkan untuk mewujudkan cita-cita kebenaran. Oleh karena itu
maka pengakuan yang jujur
merupakan pernyataan dari salah satu pihak untuk
mengemukakan yang benar, walaupun
merugikan dirinya sendiri.
O. Notohamidjojo,[4] dalam bukunya mengemukakan
antara lain bahwa:
"...keinsyafan batin atau nurani manusia adalah sebagai alat pengontrol dalam diri
manusia untuk memihak
kepada yang baik dalam menghadapi suatu keadaan antara yang baik dan yang buruk, antara salah dan benar...".
Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya merupakan suatu tinjauan tentang kepribadian manusia itu
sendiri. Hal itu karena pengakuan timbul berdasarkan
dorongan keinsyafan batin manusia. Pengakuan itu berarti membenarkan tentang suatu hal atau kejadian. Oleh karena itu maka pengakuan yang patut dihargai
adalah pengakuan yang jujur atau
yang benar-benar timbul dari
keinsyafan batin para pihak yang
berperkara. Pengakuan yang timbul karena keinsyafan batin ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras dengan kebenaran, atau
telah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya telah
terjadi.
Faktor Pemikiran yang Logis
Untuk menentukan kebenaran terhadap suatu kejadian
atau peristiwa tertentu diperlukan akal, sementara akal itu dimiliki
oleh setiap orang. Akal itulah yang menjadi hakim dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan pertimbangan dalam
menjatuhkan suatu keputusan atas setiap kejadian.
Faktor pikiran logis ini merupakan pendukung bagi
para pihak untuk memberikan pengakuan yang jujur, sebab
akal yang ada padanya dapat menentukan pilihannya, untuk melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang diharapkan. Untuk dapat
menentukan pilihannya itu maka ia
berpedoman kepada kaidah-kaidah
tentang apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono Dirdjosisworo,[5]
mengemukakan bahwa masalah kepatuhan hukum itu menyangkut kemampuan
individu dalam menghayati aturan hukum yang dibentuk. Menghayati benar atau tidak kaidah hukum yang dihadapinya akan menetapkan pilihan sikap untuk patuh atau menyeleweng dari patokan kaidah yang ada. Kesadaran seseorang untuk melakukan perilaku
yang sesuai dengan hukum, berkaitan dengan penilaian yang
diberikan untuk melakukan perilaku tersebut. Penilaian
tersebut timbul oleh karena manusia di dalam menentukan kehendaknya sangat ditentukan oleh
keserasian antara pikiran dengan perasaannya.
(b) Bentuk-bentuk Pengakuan
Seperti telah
dikemukakan terdahulu, bahwa pada
permulaan sidang, hakim haraus senantiasa berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak
yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka
hakim akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya akta perdamaian
tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil
didamaikan, maka hakim akan mempersilakan
penggugat untuk membacakan gugatannya. Setelah itu
giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban tergugat dapat diajukan
secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa referte,
bantahan, dan pengakuan.
Referte adalah jawaban dari pihak tergugat
yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat tidak membantah
dan tidak pula membenarkan gugatan.[6] Tergugat memohon keadilan kepada hakim, sehingga apa yang harus dilakukan selama persidangan itu diserahkan sepenuhnya
kepada hakim.
Referte ini bukan pengakuan dan bukan pula
bantahan. Sedangkan bantahan(verweer) dapat berupa tangkisan (eksepsi) atau sangkalan. Tangkisan belum menyangkut
pokok perkara, sedangkan sangkalan telah
berhubungan dengan pokok perkara (verweer ten
principale). Di samping referte
dan sangkalan, jawaban tergugat juga dapat berupa sepenuhnya pengakuan
(pengakuan murni).
Dalam praktik banyak terjadi penggabungan antara
pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak bulat. Akan tetapi pada
dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal
itu karena menyangkut pembuktian,
sebab apabila sudah ada pengakuan tidak perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal
yang memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Disebabkan karena adanya pengakuan yang tidak
bulat, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan membedakan pengakuan menjadi tiga jenis pengakuan, yaitu
Pertama, pengakuan
murni;
Kedua, pengakuan dengan kualifikasi; dan
Yang dimaksud dengan kualifikasi bukan
semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan
kualifikasi terhadap pengakuan.
Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dengan tambahan yang bersifat
membebaskan.
2. Macam-macam Alat Bukti
Pengakuan
(a) Pengakuan Murni (aveu
pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan
posita pihak lawan.[8] Penggugat menyatakan
sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan
oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa
ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang
yang bisu dapat mengemukakan melalui
perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan
tulisan. Oleh karena itu pengakuan
secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat . Hakikat dari
pengakuan secara
tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau
materinya termasuk kategori fungsi
sebagai pengakuan, sedangkan apabila
dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat .
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai
kekuatan
sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan
tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan
pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata
pihak yang mengajukan pengakuan
tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan
tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat .
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di
muka sidang itu tidak dibantah
oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sempurna.
Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat
jawaban tergugat,
kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai
pengakuan secara lisan di
depan
sidang.[9]
Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta
di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya
bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa
terdapat sesuatu yang diterangkan oleh
penandatangan tersebut.
Dengan kata lain, surat
itu berisikan keterangan
dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian
tentang isi
yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan
dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa
yang penting adalah kekuatan
pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil
itu menilai "apakah memang benar
sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana
isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran".[10]
Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak
menyangkal kebenaran
gugatan
penggugat atau bagian-bagian tertentu
dari gugatan penggugat tidak
dijawab
oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap
diakui oleh tergugat secara
diam-diam.[11]
Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan
penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang
diakui itu terbukti. Akan tetapi hal
itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan
tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan
untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Sedangkan dalam perkara perceraian, dimaksudkan
untuk mempersulit terjadinya perceraian, sehingga diharapkan tujuan Undang-undang perkawinan dapat tercapai. Oleh karena itu di dalam kedua perkara tersebut hanya dengan
bukti pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti
peristiwa yang bersangkutan.
Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti
lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai
sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu sebagai alat bukti
sempurna.[12] Terhadap
masalah ini Pengadilan Negeri
Surabaya memberikan
putusan yang justeru lebih luas interpretasinya. Dalam putusan tentang masalah wanprestasi
terhadap utang, isinya antara lain: bahwa "pengakuan merupakan alat bukti ang sempurna,
bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak perlu diperhatikan karena
telah mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna.[13]
(b) Pengakuan dengan
Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang
dilakukan oleh
tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari
tuntutan.[14] Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga
sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut
pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi
sebenarnya adalah
pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat
mengakui sebagian dari gugatan penggugat,
sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan.
Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk
memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara
bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.
(c) Pengakuan dengan
Klausula (geclausuleerde bekentenis)
Pengakuan dengan
klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal pokok yang diajukan penggugat,
akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan
tetapi bedanya adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat
keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui
gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak
memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan
oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan
kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka
pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan
dari keterangan tambahannya
(onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg)
dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat
pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan
dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula
ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat
dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang
dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk
bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberi pengakuan. Apabila ternyata pihak
yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya,
konsekuensinya dia akan dikalahkan. Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan
pengakuan.
Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan
memisahkan pengakuan yang tidak
dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus
dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan
ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap pengakuan yang
tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian
dibebankan kepada penggugat.[15]
Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan
adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya penggugat diwajibkan
untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Pada umumnya
penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya.
Akan tetapi apabila ternyata
penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran
gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan
aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan
(sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat.
Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak
dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama, dia menolak seluruh pengakuan
tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu
tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti,
maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan
murni yang mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna serta mengikat.
Sebagai mana mengenai uraian diatas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Pertama, Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat
masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati
sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan
antara lain bahwa pengakuan sebagai alat
bukti tidak selalu mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk
menilai kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini
berarti peranan pengakuan sebagai
alat bukti dalam
hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya
masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap
perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan
pembuktian ini sebagai alat bukti
yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan
tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara
proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim
seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara
perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum
acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang
menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga
seyogianya tidak hanya mencari kebenaran
formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha
mencari dan menemukan kebenaran material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam
pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan
perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Sumber
:
Eman Suparman (Lektor Kepala Hukum Acara
Perdata pada Fakultas Hukum Unpad Bandung)
Makalah Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata.
[2] R.M.
Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara... Op. Cit., halaman 107
[4] O.
Notohamidjojo,Demi
Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat
Hukum.
[5] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar
tentang Psikologi Hukum. Bandung : Alumni, 1983, halaman
75.
[8] Ibid. , halaman
150.
[11] Periksa, Putusan PN Denpasar No. 159/Pdt./1966 tanggal 30 Januari 1967, antara lain dikatakan bahwa: “gugatan penggugat
seluruhnya dianggap diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain
selebihnya dalam surat
gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat.”
[12] Periksa,
Putusan PN Singaraja No. 133/Pdt./1960, tanggal 21 Mei 1970. Putusan PN
Klungkung No.
540/Pdt./1963, tanggal 19 Oktober 1963.
[14] R.M.
Sudikno Mertokusumo,O p. cit . , halaman 150